too enthusiasthic of art and belleslettres.
we luv reads, luv eats, luv write, luv paint, luv think about luv (wha??!).
we don't like smoking!
and of course, we always believe our hearttalks.
Suatu pagi berlangit emas kau mendapatiku sedang duduk sendiri.
Kau melintas dan menengok isi tempat makan di tanganku.
Adalah setangkup roti bakar mentega disana. Dan oh, itu menu sarapan
kesukaanmu.
Kau mulai
bercerita. Ini tentang Sang Roti yang hanya berpasangan dengan Sang Mentega, tidak dengan yang lain. Lalu
ada prosesi pembakaran yang melumerkan Sang Mentega. Sang Mentega mengisi
pori-pori Sang Roti dan Sang Roti akan mengikatnya dengan dindingnya yang kini
kering-renyah. Sejoli yang eksotis.
Aku pun sejak
lama memuja dua sejoli itu, maka obrolanpun membumbung bagai apolo yang meluncur
ke ruang angkasa.
Hanya kau dan
aku, tentang roti bakar mentega yang merambah pada kerenyahan dan kegurihan
lain yang kita puja dalam hidup.
Alhasil suara
manusia lain tak terhiraukan, terkikis habis oleh atmosfer yang melingkupi
kita.
Hening seperti di Uranus.
Tiba-tiba ada yang mengajakmu ber-coffee morning, menjemputmu untuk menapaki bumi.
Sial bagiku, kau mengiyakannya.
Kini punggungmu membelakangiku, begitu pula punggung wanita di sebelahmu.
Dan
kusadari atmosferku dibombardir oleh meteor yang berbeda, si wanita itu. Aku mulai menganalisa. Apakah
meteor itu terlalu dahsyat? Atau atmosfernya yang terlalu tipis? Atau asaku
yang terlalu melambung keluar orbit? Jatuh dari tempat yang terlalu tinggi
memang sakit sekali.
Ah, mungkin
seharusnya aku tetap menginjak bumi.
Duduk tenang
menikmati roti bakar mentega, berputar pada poros hidupku sendiri.
Sembari menyeruput teh panas dan semangkuk
gosip pedas. Diantara serpihan-serpihan remeh cerita ringan tentangnya. Seperti
tak pernah habis, terus menerus saling menenggak berita-berita baru. Apapun
yang berkaitan mengenai lelaki murah senyum itu, selalu mampu menyedot
wanita-wanita muda yang chik dan
enerjik ini untuk bergerumul di cubicle
tepat sebelah kiriku. Cubicle Letha, sahabatku. Sampai-sampai aku yang tadinya
enggan-engganan, jadi mulai kecanduan merekam gosip-gosip baru tentang lelaki
itu. Kepalaku rasanya penuh sesak dengan nama itu. Tapi aku tidak seperti
mereka—menurut mereka hanya belum kecanduan saja—yang kecanduan melebihi minum
kopi.
Aku terkadang
hampir jengah, dipaksa menyeduhkan ‘kopi-kopi’ panas untuk mereka. Sehari saja
penuh diam, atau bahkan baru selangkah saja keluar dari ruangan lelaki itu,
pertanyaan-pertanyaan sudah banjir bergerumul di kanan-kiri telinga. Mulanya
aneh, hal yang buatku biasa selalu tampil istimewa bagi mereka. Lama-lama aku
tau, itulah cinta.
Oh, kuralat.
Entahlah itu cinta, kagum, fanatik, atau apalah yang lebih tepat.
Jarang sekali
bisa bertemu suasana hening di ruangan ini. Hanya sesekali, itupun sesaat
kemudian pecah tawa-tawa renyah di atas piring-piring camilan siang. Lagi-lagi
‘kopi-kopi’ manis si pemilik ruangan di
seberang meja kerjaku itu di seruput. Di luar hujan, tapi kopi-kopi
semakin lama diaduk semakin bertambah panas. Entah mereka menyadari atau tidak
kalau tawa-tawa renyahnya bisa terdengar sampai ruangan di belakang mereka. Aku
sesekali ikut tertawa atau tersenyum simpul, lebih sering menertawakan tingkah
wanita-wanita cantik ini. Tapi—kuralat lagi—sepertinya mereka memang tak peduli,
terdengar pun mungkin malah lebih baik.
Denyit pintu
terdengar, senyum-senyum manis dari bibir yang sedari tadi tak berhenti mengunyah
gosip tertarik lebar kearah sosok lelaki itu. Lelaki yang kini mendekati cubicle-ku. “Je, ke kamarku yah. Eh, ruanganku!”
sergahnya buru-buru sambil senyum jail melirik ke arahku. Tak sampai sedetik tawa-tawa renyah
mereka kembali pecah, sekilas ada yang melirikku, ada yang justru mengernyit
seperti cemburu. Sisanya malah berkata, “sudah diundang ke kamar tuh!”. Aku
hanya menuang senyum santai ke dalam cangkir-cangkir kopi mereka. Mereka pasti
sudah berharap-harap menunggu dituangkan kopi-kopi panas lagi.
Sudah lama
rasanya tak terima yang namanya surat cinta. Entah kapan yang terakhir kalinya.
Membuka surat dengan katakata yang spontan berterbangan di dalam lipatannya,
seperti menunggu rintik hujan jatuh pelanpelan, menunggu ketenangan. Ada
gerimis diantara barisbaris kata, dan harum dedaunan basah. Aroma tanah yang
menguap. Seperti parfum yang membuatku terus merindu.
Setelah membaca
surat cinta, hatiku rasanya penuh dengan katakata yang berbondongbondong,
meluapluap, menarinari, ingin segera membalas cinta si pengirim. Meski kadang
tak tau siapa dia. Tapi rinduku akan surat cinta sudah tak terbendung, seperti
hujan di luar yg terjun bebas, tak peduli matahari masih menyeringai yang langsung
buruburu menyipit.
Menerima surat
cinta bagiku rasanya tak perlu menunggu jatuh cinta. Atau menanti hari
valentine. Bisa kapan saja. Mengirimi surat cinta berarti membiarkan kepingankepingan
aksara berjabat erat. Jangan lupa melekatkan rindurindu disudut amplop. Agar cinta
dan senyum di dalam surat tak hilang dicuri pak pos.*
Buddy menyuruhku
mengaktifkan radar Neptunus karena parahnya sinyal di kamarku. Aku bilang radar
Neptunus tidak berefek mungkin karena aku adalah Virgo, bukan Aquarius. Aku iri
dengan Buddy yang Aquarius dan meminta dia menyampaikan ketidakadilan yang
kurasakan kepada Neptunus. Mengapa dia pilih-pilih agen? mengapa dia menolakku
hanya karena aku bukan Aquarius?
Buddy
menyarankanku untuk melamar menjadi agen Pluto. Pluto yang dewa tanah mungkin
lebih cocok dengan unsurku. Disamping itu, letak planet Neptunus dan Pluto
berdekatan, jadi Buddy dan aku bisa main bareng. Begitu katanya. Lalu aku akan
mengumumkan kepada dunia bahwa semua non-Aquarius bisa menjadi agen Pluto. Jadi
aku punya banyak teman untuk membalas sakit hatiku pada Neptunus.
Aktifkan radar
Neptunus : Bip Bip!
Aktifkan radar
Pluto : Guk Guk!
Dan akupun
berubah pikiran, sepertinya tidak ada yang ingin menjadi agen Pluto jika
aktivasi radarnya seperti itu. Aku berlalu, sambil mengumpat kepada Mickey
Mouse. Kenapa dia memberi nama anjingnya Pluto!
Malam ini aku tidak bisa tidur. Bukan karena pahitnya caffe americano yang
kuminum, tapi karena manisnya pria yang menemaniku menikmatinya.
Ku cukup bahagia berada di tengah manusia yang kau undang pada pestamu.
Meski hanya gelombang suara dari diafragmamu yang sampai ke gendang telingaku.
Meski hanya sekedip tatapmu yang tertangkap oleh rasaku. Diantara manusia
lainnya, aku dan kamu terhubung.
Kalau pada akhirnya aku bisa terlelap, aku berjanji akan membawamu ke
mimpiku. Aku ingin bersentuhan lagi dengan suara dan tatapmu.
Mimpi, realita, mimpi, realita.
Jika realita bisa lebih indah pada akhirnya, aku berjanji akan menarikmu
dari mimpi dan mendorongmu masuk ke hidupku. Tapi jika mimpi lebih indah, beri
tahu aku lebih awal, agar aku tak perlu bersusah payah menunggumu.
Aku terperangkap oleh waktu. Yang
terhenti oleh satu wajah. Wajah yang mampu menggerakkan banyak rasa. Diantara sayup,
aku yang dalam kesendirian waktu, menatap jauh dinding-dinding kosong yang
harus ku interpretasikan satu-satu. Ini mungkin yang orang-orang sebut
menyendiri, benar-benar sendiri. Mengapa bisa banyak orang berharap ‘sedang
ingin sendiri’, ‘saya sedang butuh waktu untuk sendiri’.
Ternyata rasanya tak enak, tinggal
sendiri dalam fikiran-fikiran yang berputar tak henti. Berceracau, bising, runyam seperti benang kusut yang biasa
diistilahkan orang. Kadang longgar. Tapi terus berlalu begitu dengan kata-kata
yang berterbangan terdisorientasi waktu dalam satu ruang sempit. Entah sudah
berapa tahun bahkan abad aku disini. Berkata-kata sendiri. Ditimpali oleh
dinding-dinding dingin. Lalu disangkal oleh diriku sendiri, untuk dicerca
kembali oleh kata-kata yang berserakan.
Setelah semua saling berbisik, bicara,
berteriak, dan berisik. Tiba-tiba sunyi. Mereka seperti lelah dan mulutnya
terkunci. Aku ingin keluar dari waktu yang terhenti disini.
Tiba-tiba aku terbangun, tapi
seperti sudah berpindah keluar dari dunia waktu. Sekali aku berucap dalam hati,
sepi, tak ada yang menimpali seperti tadi. Lalu ku berceracau kembali dalam
hati, tetap tak ada kata-kata lain yang bergeming. Aku teriak sebisaku, tetap hening.
Apakah dunia sudah terbalik?
Mungkin kini waktu yang
terperangkap dalam diriku. Kucium aroma rindu...
Lalu aku melenggang mengambil
handuk, dan mengambil setangkup roti bakar selai nanas.
Aku adalah kanvas yang sedang dijajakan di toko buku. Aku bisa melihat beberapa pengunjung, ada yang hanya melirik sebentar ke arahku, ada yang sudah memandang lama sambil menyentuhku tanda hampir tertarik padaku, ada yang sama sekali tidak melihatku… lewat begitu saja.
Lalu ada tangan yang membeliku, akhirnya. Aku dibawa ke rumahnya yang sangat besar, lalu ditaruhlah aku dipojok ruangan. Aku mendengar percakapan Tuanku dengan seorang yang lain. Aku terharu ketika tahu bahwa proses yang aku lalui untuk sampai ke tangan Tuan tidaklah mudah. Katanya aku memenuhi kriteria kanvas yang diinginkannya, mulai dari tekstur, bahan, warna, ukuran, dan juga harga. Aku memenuhi semua kriteria itu!
Lama sekali aku bersandar di sini. Tuanku bahkan belum menyentuhkan satu warna pun pada diriku. Aku jadi menyesal, mengapa aku disini. Kenapa aku tidak dibeli oleh Tuan lain yang benar-benar membuatku berguna, yang menggoreskan warna-warna indah dengan guratan seni yang menawan, sehingga jadilah aku lukisan yang rupawan dan bernilai. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya menanti sambil berharap-harap cemas. Apakah aku akan melapuk dalam keadaan tetap polos seperti ini? Dibuang? Diberikan kepada tuan lain? Atau Tuan akhirnya melukisku walaupun masih ada kekhawatiran akan menjadi lukisan seperti apa aku ini.
Kenyataannya aku bukanlah kanvas, aku manusia. Aku bisa bergerak, berusaha menjadi lukisan yang aku inginkan. Aku bisa melangkah keluar dari rumah Tuan itu dan mencari tempat lain yang lebih memahamiku atau aku bisa berteriak kepada si Tuan “hey, aku ada!”. Jadi, beruntunglah kita para manusia. Lukislah dirimu dengan warna-warna indah. Jadilah lukisan yang memukau dan bernilai tinggi. Jadilah ada.
Salah seorang rekan saya
mengingatkan bahwa blog ini mati suri. Jadi saya coba hidupkan lagi dengan
cerita pertama yang akan saya mulai adalah tentang rekan yang mengingatkan saya
tentang blog ini. Di bawah ini adalah percakapan saya dengan 2 orang yang
seperti kucing dan anjing, sebut saja Catty dan… Buddy (Doggy terlalu
kebinatangan). Note: Buddy ini rekan yang mengingatkan saya tentang blog ini.
Catty dan Buddy seperti paduan bahan sambel (tadi kucing dan anjing, sekarang
sambel, terima aja ya), bisa bikin saya mulas (karena banyak tertawa). Apalagi
kalau ada 2 orang lagi, sebut saja Rabbit dan Abang (bayangkan: Abang tukang
kelinci) saya bisa merasa gila sekaligus bersyukur karena saya sadar bahwa saya
paling waras diantara mereka.
Ceritanya berawal ketika saya dan
Catty akan mudik ke Serang, kami berencana berangkat sepulang dari kantor.
Buddy sudah berangkat duluan tepatnya dia ijin pulang cepat sebagai antisipasi
jalanan akan sangat macet karena arus mudik lebaran qurban. Jujur saya dan
Catty tidak menganggap kemacetan itu sesuatu yang WOW, toh cuma ke Serang,
bukan ke Tegal misalnya. Karena capek seharian bekerja, pergerakan kami lambat.
Sudah terlanjur malam, ya kemalaman sekalian, mungkin jalan akan berangsur
lengang, pikir kami.
Kami berangkat jam8 malam. Naik
busway menuju slipi. Di busway penuhnya minta ampun, jalananpun penuh tiada
tara. Diantara hempitan manusia ini, ada BBM masuk dari Buddy.
Buddy: Nyai hendak naik dari mana? Bisa dipastikan bus penuh, hati-hati
ah.
Karena sumpek, sensi, saya dan
Catty membaca kalimat Buddy seperti ledekan, seperti menakut-nakuti, bukan
kekhawatiran atau perhatian. Catty menyambar BB saya.
Catty: Matiii aja lo, kasih advice kayak gini.. *salam fingercross * Catty.
Doain ngga penuh dooong!
Buddy: Makanya ini ditanya mau naik dari mana. Kalo bisa ke terminal
biar duduk. Tapi berhubung udah nyolot duluan. Ya saya mah mau tidur aja lah
ya.. Dududuuu~
Saya: Tapi gue kan ngga nyolot *salam cinta* Saya. Telat juga sih.
Ini udah di busway
Buddy: Rencananya mau kemana? Masa gak pengalaman juga sih kalo mau
libur begini ih.
Saya: Kita baru aja sampai di Slipi, lagi nunggu bus ke Serang.
Buddy: What? Baru nunggu bus ke Serang?
Saya: Yup, penuh-penuh semua busnya.
Buddy: I told ya
Saya: Then? Should I say "wow"? – Saya mulai kesal
karena perkataan Buddy bukannya menenangkan malah memperkeruh suasana. Saya
menunjukkan BBM ini ke Catty.
Buddy: Halah!
Catty: Sapiii lu, jahat *Catty*
Buddy: Perasaan udah dibilangin dah jangan pulang malem. Makanya tadi gue
ijin pulang cepet di kantor. Tadi aja gue berdiri di bus, padahal masih siang.
Di Slipi rame banget orang yang mau naik bus ya? Pada brebut?
Saya: Kepepet ih, kerjaan lagi hectic banget. Ga bisa ijin pulang
cepet. Jangankan itu, gue aja baru nyadar lebaran besok tuh kemaren.
Buddy: Parah! Jangan terlalu gitu ah kerjanya, di luar dunia kerja
masih banyak yg lebih indah. Sayang buat dilewatin karna kerjaan aja.
Saya: Lebaran besok ngga bakal dilewatin kok, ini juga bakal dapet
bus cuma harus bersabar aja.
Buddy: Tadinya gue mau naik motor, tapi lg kurang fit. Maaf ya ngga
jadi bareng – Awalnya saya mau dibonceng Buddy, naik motor Buddy, ke Serang.
Saya: Lagian sama Catty juga, masa dia sendiri.
Buddy: Biarin! Dia di pentil aja kalau ikut. Jangan kasih BB lo ke
Catty. Nanti gue disuruh mati lah, dikatain sapi lah, aneh-aneh aja dia mah.
Saya sih waktu baca langsung
ketawa sama pernyataan Buddy terakhir. Lumayanlah bikin saya dan Catty
ketawa-ketiwi di pinggir jalan kota jakarta yang berdebu ini, sampai akhirnya
kami dapat bus sekitar pukul 22.30 WIB.