Sembari menyeruput teh panas dan semangkuk
gosip pedas. Diantara serpihan-serpihan remeh cerita ringan tentangnya. Seperti
tak pernah habis, terus menerus saling menenggak berita-berita baru. Apapun
yang berkaitan mengenai lelaki murah senyum itu, selalu mampu menyedot
wanita-wanita muda yang chik dan
enerjik ini untuk bergerumul di cubicle
tepat sebelah kiriku. Cubicle Letha, sahabatku. Sampai-sampai aku yang tadinya
enggan-engganan, jadi mulai kecanduan merekam gosip-gosip baru tentang lelaki
itu. Kepalaku rasanya penuh sesak dengan nama itu. Tapi aku tidak seperti
mereka—menurut mereka hanya belum kecanduan saja—yang kecanduan melebihi minum
kopi.
Aku terkadang
hampir jengah, dipaksa menyeduhkan ‘kopi-kopi’ panas untuk mereka. Sehari saja
penuh diam, atau bahkan baru selangkah saja keluar dari ruangan lelaki itu,
pertanyaan-pertanyaan sudah banjir bergerumul di kanan-kiri telinga. Mulanya
aneh, hal yang buatku biasa selalu tampil istimewa bagi mereka. Lama-lama aku
tau, itulah cinta.
Oh, kuralat.
Entahlah itu cinta, kagum, fanatik, atau apalah yang lebih tepat.
Jarang sekali
bisa bertemu suasana hening di ruangan ini. Hanya sesekali, itupun sesaat
kemudian pecah tawa-tawa renyah di atas piring-piring camilan siang. Lagi-lagi
‘kopi-kopi’ manis si pemilik ruangan di
seberang meja kerjaku itu di seruput. Di luar hujan, tapi kopi-kopi
semakin lama diaduk semakin bertambah panas. Entah mereka menyadari atau tidak
kalau tawa-tawa renyahnya bisa terdengar sampai ruangan di belakang mereka. Aku
sesekali ikut tertawa atau tersenyum simpul, lebih sering menertawakan tingkah
wanita-wanita cantik ini. Tapi—kuralat lagi—sepertinya mereka memang tak peduli,
terdengar pun mungkin malah lebih baik.
Denyit pintu
terdengar, senyum-senyum manis dari bibir yang sedari tadi tak berhenti mengunyah
gosip tertarik lebar kearah sosok lelaki itu. Lelaki yang kini mendekati cubicle-ku. “Je, ke kamarku yah. Eh, ruanganku!”
sergahnya buru-buru sambil senyum jail melirik ke arahku. Tak sampai sedetik tawa-tawa renyah
mereka kembali pecah, sekilas ada yang melirikku, ada yang justru mengernyit
seperti cemburu. Sisanya malah berkata, “sudah diundang ke kamar tuh!”. Aku
hanya menuang senyum santai ke dalam cangkir-cangkir kopi mereka. Mereka pasti
sudah berharap-harap menunggu dituangkan kopi-kopi panas lagi.
0 cuap-cuap:
Post a Comment