Suatu pagi berlangit emas kau mendapatiku sedang duduk sendiri.
Kau melintas dan menengok isi tempat makan di tanganku.
Adalah setangkup roti bakar mentega disana. Dan oh, itu menu sarapan
kesukaanmu.
Kau mulai
bercerita. Ini tentang Sang Roti yang hanya berpasangan dengan Sang Mentega, tidak dengan yang lain. Lalu
ada prosesi pembakaran yang melumerkan Sang Mentega. Sang Mentega mengisi
pori-pori Sang Roti dan Sang Roti akan mengikatnya dengan dindingnya yang kini
kering-renyah. Sejoli yang eksotis.
Aku pun sejak
lama memuja dua sejoli itu, maka obrolanpun membumbung bagai apolo yang meluncur
ke ruang angkasa.
Hanya kau dan
aku, tentang roti bakar mentega yang merambah pada kerenyahan dan kegurihan
lain yang kita puja dalam hidup.
Alhasil suara
manusia lain tak terhiraukan, terkikis habis oleh atmosfer yang melingkupi
kita.
Hening seperti di Uranus.
Tiba-tiba ada yang mengajakmu ber-coffee morning, menjemputmu untuk menapaki bumi.
Sial bagiku, kau mengiyakannya.
Kini punggungmu membelakangiku, begitu pula punggung wanita di sebelahmu.
Dan
kusadari atmosferku dibombardir oleh meteor yang berbeda, si wanita itu. Aku mulai menganalisa. Apakah
meteor itu terlalu dahsyat? Atau atmosfernya yang terlalu tipis? Atau asaku
yang terlalu melambung keluar orbit? Jatuh dari tempat yang terlalu tinggi
memang sakit sekali.
Ah, mungkin
seharusnya aku tetap menginjak bumi.
Duduk tenang
menikmati roti bakar mentega, berputar pada poros hidupku sendiri.
Membiarkan
atmosferku menaungi, melindungi.
0 cuap-cuap:
Post a Comment