Aku terperangkap oleh waktu. Yang
terhenti oleh satu wajah. Wajah yang mampu menggerakkan banyak rasa. Diantara sayup,
aku yang dalam kesendirian waktu, menatap jauh dinding-dinding kosong yang
harus ku interpretasikan satu-satu. Ini mungkin yang orang-orang sebut
menyendiri, benar-benar sendiri. Mengapa bisa banyak orang berharap ‘sedang
ingin sendiri’, ‘saya sedang butuh waktu untuk sendiri’.
Ternyata rasanya tak enak, tinggal
sendiri dalam fikiran-fikiran yang berputar tak henti. Berceracau, bising, runyam seperti benang kusut yang biasa
diistilahkan orang. Kadang longgar. Tapi terus berlalu begitu dengan kata-kata
yang berterbangan terdisorientasi waktu dalam satu ruang sempit. Entah sudah
berapa tahun bahkan abad aku disini. Berkata-kata sendiri. Ditimpali oleh
dinding-dinding dingin. Lalu disangkal oleh diriku sendiri, untuk dicerca
kembali oleh kata-kata yang berserakan.
Setelah semua saling berbisik, bicara,
berteriak, dan berisik. Tiba-tiba sunyi. Mereka seperti lelah dan mulutnya
terkunci. Aku ingin keluar dari waktu yang terhenti disini.
Tiba-tiba aku terbangun, tapi
seperti sudah berpindah keluar dari dunia waktu. Sekali aku berucap dalam hati,
sepi, tak ada yang menimpali seperti tadi. Lalu ku berceracau kembali dalam
hati, tetap tak ada kata-kata lain yang bergeming. Aku teriak sebisaku, tetap hening.
Apakah dunia sudah terbalik?
Mungkin kini waktu yang
terperangkap dalam diriku. Kucium aroma rindu...
Lalu aku melenggang mengambil
handuk, dan mengambil setangkup roti bakar selai nanas.
0 cuap-cuap:
Post a Comment