Saturday, January 19, 2013

Mari Kita Berbincang Tentang Cinta Disini (1)

Sembari menyeruput teh panas dan semangkuk gosip pedas. Diantara serpihan-serpihan remeh cerita ringan tentangnya. Seperti tak pernah habis, terus menerus saling menenggak berita-berita baru. Apapun yang berkaitan mengenai lelaki murah senyum itu, selalu mampu menyedot wanita-wanita muda yang chik dan enerjik ini untuk bergerumul di cubicle tepat sebelah kiriku. Cubicle Letha, sahabatku. Sampai-sampai aku yang tadinya enggan-engganan, jadi mulai kecanduan merekam gosip-gosip baru tentang lelaki itu. Kepalaku rasanya penuh sesak dengan nama itu. Tapi aku tidak seperti mereka—menurut mereka hanya belum kecanduan saja—yang kecanduan melebihi minum kopi.

Aku terkadang hampir jengah, dipaksa menyeduhkan ‘kopi-kopi’ panas untuk mereka. Sehari saja penuh diam, atau bahkan baru selangkah saja keluar dari ruangan lelaki itu, pertanyaan-pertanyaan sudah banjir bergerumul di kanan-kiri telinga. Mulanya aneh, hal yang buatku biasa selalu tampil istimewa bagi mereka. Lama-lama aku tau, itulah cinta.

Oh, kuralat. Entahlah itu cinta, kagum, fanatik, atau apalah yang lebih tepat.

Jarang sekali bisa bertemu suasana hening di ruangan ini. Hanya sesekali, itupun sesaat kemudian pecah tawa-tawa renyah di atas piring-piring camilan siang. Lagi-lagi ‘kopi-kopi’ manis si pemilik ruangan di  seberang meja kerjaku itu di seruput. Di luar hujan, tapi kopi-kopi semakin lama diaduk semakin bertambah panas. Entah mereka menyadari atau tidak kalau tawa-tawa renyahnya bisa terdengar sampai ruangan di belakang mereka. Aku sesekali ikut tertawa atau tersenyum simpul, lebih sering menertawakan tingkah wanita-wanita cantik ini. Tapi—kuralat lagi—sepertinya mereka memang tak peduli, terdengar pun mungkin malah lebih baik.

Denyit pintu terdengar, senyum-senyum manis dari bibir yang sedari tadi tak berhenti mengunyah gosip tertarik lebar kearah sosok lelaki itu. Lelaki yang kini mendekati cubicle-ku. “Je, ke kamarku yah. Eh, ruanganku!” sergahnya buru-buru sambil senyum jail melirik ke arahku. Tak sampai sedetik tawa-tawa renyah mereka kembali pecah, sekilas ada yang melirikku, ada yang justru mengernyit seperti cemburu. Sisanya malah berkata, “sudah diundang ke kamar tuh!”. Aku hanya menuang senyum santai ke dalam cangkir-cangkir kopi mereka. Mereka pasti sudah berharap-harap menunggu dituangkan kopi-kopi panas lagi.

0 cuap-cuap:

Post a Comment