Sunday, February 03, 2013

Tuan Hujan #3



Setiap detik adalah moment
seperti buih yang langsung berpendar ketika sampai
seperti cahaya yang memudar setelah usai
serupa rintik yang sekejap menguap kembali
dan waktu yang tak kan terulang

dari sana kita belajar cinta
mengasihi untuk sesama, tanpa berasa-asa

kita bisa belajar pada kata
banyak darinya yang mampu berdiri sendiri
tapi bersanding membuatnya lebih berarti

manusia-manusia kaca
bercerita pada hujan
melalui nada tanpa rupa
bersenandung dengan iring-iringan cahaya
menari memenuhi ruang-ruang warna

mereka tak bisu kata
hanya memilih diam sebagai bahasa
tak hanya ragu yang menipu
tapi waktu yang purapura tak tahu-menahu

Melipat Senja

Ingin                                                        kalau
      kulipat-                                        Agar     kau
              lipat                            bajumu.            rindu,
                 senja,                 kerah                            bisa
                       lalu          pada                                       mengambilnya
                         kuselipkan                                                        
                                                                                                                  satu-satu.

Tuan Hujan #2

'Tuan Hujan Berkerah Senja'


"Hey kamu, Tuan Hujan berkerah senja
Mengapa datang malumalu?
Aku rindu kamu tahu"



"Senja sembunyi diantara pekat gradiasi
Senja sedang meneduh meski hujan tampak malumalu"

"Tapi kan kamu tahu
Rinduku sudah sejak bertahun lalu"

Melamun

Aku melamunkanmu, sedikitsedikit. Dicicil saja, supaya tak terlalu ketara. Toh, kalaupun sekaligus banyakbanyak aku juga nanti yang repot. Menjinjing berikatikat rindu dalam kantong plastik. Bisabisa orang serba tanya 'habis memborong rindu dari mana?'. Ahh, aku juga sedang malas kok menjawab. Hanya ingin melamunkanmu sedikit lagi.
Ini saja, di saku bajukuku rindu sudah penuh.
Aku sepertinya harus mencari cara lain melamunkanmu.
Kalau cuaca berangin gini, biar rindu kubentuk bola kapas
yang bisa diterbangkan ke langit,
seperti benang sari dandellion yang ringan.

Wednesday, January 30, 2013

Atmosfer


Suatu pagi berlangit emas kau mendapatiku sedang duduk sendiri.
Kau melintas dan menengok isi tempat makan di tanganku.
Adalah setangkup roti bakar mentega disana. Dan oh, itu menu sarapan kesukaanmu.
Kau mulai bercerita. Ini tentang Sang Roti yang hanya berpasangan dengan Sang Mentega, tidak dengan yang lain. Lalu ada prosesi pembakaran yang melumerkan Sang Mentega. Sang Mentega mengisi pori-pori Sang Roti dan Sang Roti akan mengikatnya dengan dindingnya yang kini kering-renyah. Sejoli yang eksotis.
Aku pun sejak lama memuja dua sejoli itu, maka obrolanpun membumbung bagai apolo yang meluncur ke ruang angkasa.
Hanya kau dan aku, tentang roti bakar mentega yang merambah pada kerenyahan dan kegurihan lain yang kita puja dalam hidup.
Alhasil suara manusia lain tak terhiraukan, terkikis habis oleh atmosfer yang melingkupi kita.
Hening seperti di Uranus.
Tiba-tiba ada yang mengajakmu ber-coffee morning, menjemputmu untuk menapaki bumi.
Sial bagiku, kau mengiyakannya.
Kini punggungmu membelakangiku, begitu pula punggung wanita di sebelahmu.
Dan kusadari atmosferku dibombardir oleh meteor yang berbeda, si wanita itu. Aku mulai menganalisa. Apakah meteor itu terlalu dahsyat? Atau atmosfernya yang terlalu tipis? Atau asaku yang terlalu melambung keluar orbit? Jatuh dari tempat yang terlalu tinggi memang sakit sekali.
Ah, mungkin seharusnya aku tetap menginjak bumi.
Duduk tenang menikmati roti bakar mentega, berputar pada poros hidupku sendiri.
Membiarkan atmosferku menaungi, melindungi.

Saturday, January 19, 2013

Mari Kita Berbincang Tentang Cinta Disini (1)

Sembari menyeruput teh panas dan semangkuk gosip pedas. Diantara serpihan-serpihan remeh cerita ringan tentangnya. Seperti tak pernah habis, terus menerus saling menenggak berita-berita baru. Apapun yang berkaitan mengenai lelaki murah senyum itu, selalu mampu menyedot wanita-wanita muda yang chik dan enerjik ini untuk bergerumul di cubicle tepat sebelah kiriku. Cubicle Letha, sahabatku. Sampai-sampai aku yang tadinya enggan-engganan, jadi mulai kecanduan merekam gosip-gosip baru tentang lelaki itu. Kepalaku rasanya penuh sesak dengan nama itu. Tapi aku tidak seperti mereka—menurut mereka hanya belum kecanduan saja—yang kecanduan melebihi minum kopi.

Aku terkadang hampir jengah, dipaksa menyeduhkan ‘kopi-kopi’ panas untuk mereka. Sehari saja penuh diam, atau bahkan baru selangkah saja keluar dari ruangan lelaki itu, pertanyaan-pertanyaan sudah banjir bergerumul di kanan-kiri telinga. Mulanya aneh, hal yang buatku biasa selalu tampil istimewa bagi mereka. Lama-lama aku tau, itulah cinta.

Oh, kuralat. Entahlah itu cinta, kagum, fanatik, atau apalah yang lebih tepat.

Jarang sekali bisa bertemu suasana hening di ruangan ini. Hanya sesekali, itupun sesaat kemudian pecah tawa-tawa renyah di atas piring-piring camilan siang. Lagi-lagi ‘kopi-kopi’ manis si pemilik ruangan di  seberang meja kerjaku itu di seruput. Di luar hujan, tapi kopi-kopi semakin lama diaduk semakin bertambah panas. Entah mereka menyadari atau tidak kalau tawa-tawa renyahnya bisa terdengar sampai ruangan di belakang mereka. Aku sesekali ikut tertawa atau tersenyum simpul, lebih sering menertawakan tingkah wanita-wanita cantik ini. Tapi—kuralat lagi—sepertinya mereka memang tak peduli, terdengar pun mungkin malah lebih baik.

Denyit pintu terdengar, senyum-senyum manis dari bibir yang sedari tadi tak berhenti mengunyah gosip tertarik lebar kearah sosok lelaki itu. Lelaki yang kini mendekati cubicle-ku. “Je, ke kamarku yah. Eh, ruanganku!” sergahnya buru-buru sambil senyum jail melirik ke arahku. Tak sampai sedetik tawa-tawa renyah mereka kembali pecah, sekilas ada yang melirikku, ada yang justru mengernyit seperti cemburu. Sisanya malah berkata, “sudah diundang ke kamar tuh!”. Aku hanya menuang senyum santai ke dalam cangkir-cangkir kopi mereka. Mereka pasti sudah berharap-harap menunggu dituangkan kopi-kopi panas lagi.

Aku Rindu Surat Cinta

Sudah lama rasanya tak terima yang namanya surat cinta. Entah kapan yang terakhir kalinya. Membuka surat dengan katakata yang spontan berterbangan di dalam lipatannya, seperti menunggu rintik hujan jatuh pelanpelan, menunggu ketenangan. Ada gerimis diantara barisbaris kata, dan harum dedaunan basah. Aroma tanah yang menguap. Seperti parfum yang membuatku terus merindu.

Setelah membaca surat cinta, hatiku rasanya penuh dengan katakata yang berbondongbondong, meluapluap, menarinari, ingin segera membalas cinta si pengirim. Meski kadang tak tau siapa dia. Tapi rinduku akan surat cinta sudah tak terbendung, seperti hujan di luar yg terjun bebas, tak peduli matahari masih menyeringai yang langsung buruburu menyipit.

Menerima surat cinta bagiku rasanya tak perlu menunggu jatuh cinta. Atau menanti hari valentine. Bisa kapan saja. Mengirimi surat cinta berarti membiarkan kepingankepingan aksara berjabat erat. Jangan lupa melekatkan rindurindu disudut amplop. Agar cinta dan senyum di dalam surat tak hilang dicuri pak pos.*

Monday, January 14, 2013

Radar Pluto

Buddy menyuruhku mengaktifkan radar Neptunus karena parahnya sinyal di kamarku. Aku bilang radar Neptunus tidak berefek mungkin karena aku adalah Virgo, bukan Aquarius. Aku iri dengan Buddy yang Aquarius dan meminta dia menyampaikan ketidakadilan yang kurasakan kepada Neptunus. Mengapa dia pilih-pilih agen? mengapa dia menolakku hanya karena aku bukan Aquarius?
Buddy menyarankanku untuk melamar menjadi agen Pluto. Pluto yang dewa tanah mungkin lebih cocok dengan unsurku. Disamping itu, letak planet Neptunus dan Pluto berdekatan, jadi Buddy dan aku bisa main bareng. Begitu katanya. Lalu aku akan mengumumkan kepada dunia bahwa semua non-Aquarius bisa menjadi agen Pluto. Jadi aku punya banyak teman untuk membalas sakit hatiku pada Neptunus.
Aktifkan radar Neptunus : Bip Bip!
Aktifkan radar Pluto : Guk Guk!
Dan akupun berubah pikiran, sepertinya tidak ada yang ingin menjadi agen Pluto jika aktivasi radarnya seperti itu. Aku berlalu, sambil mengumpat kepada Mickey Mouse. Kenapa dia memberi nama anjingnya Pluto!
               

Tik

Tik, tik, hujan rintik-rintik. Basahnya memercik, laju sampai samudra atlantik.
Tik, tik, jam dinding berdetik. Geraknya satu titik - satu titik sampai kembali ke awal titik.
Tik, tik, cinta mendelik. Sepertinya alegorik sampai pada akhirnya begitu realistik.
Samudra menguap lalu kembali hujan lagi
Detik berjalan lalu kembali ke awal hari
Cinta berkelana lalu kembali ke satu hati

Realita Mimpi

Malam ini aku tidak bisa tidur. Bukan karena pahitnya caffe americano yang kuminum, tapi karena manisnya pria yang menemaniku menikmatinya.
Ku cukup bahagia berada di tengah manusia yang kau undang pada pestamu. Meski hanya gelombang suara dari diafragmamu yang sampai ke gendang telingaku. Meski hanya sekedip tatapmu yang tertangkap oleh rasaku. Diantara manusia lainnya, aku dan kamu terhubung.
Kalau pada akhirnya aku bisa terlelap, aku berjanji akan membawamu ke mimpiku. Aku ingin bersentuhan lagi dengan suara dan tatapmu.
Mimpi, realita, mimpi, realita.
Jika realita bisa lebih indah pada akhirnya, aku berjanji akan menarikmu dari mimpi dan mendorongmu masuk ke hidupku. Tapi jika mimpi lebih indah, beri tahu aku lebih awal, agar aku tak perlu bersusah payah menunggumu.