Wednesday, January 30, 2013

Atmosfer


Suatu pagi berlangit emas kau mendapatiku sedang duduk sendiri.
Kau melintas dan menengok isi tempat makan di tanganku.
Adalah setangkup roti bakar mentega disana. Dan oh, itu menu sarapan kesukaanmu.
Kau mulai bercerita. Ini tentang Sang Roti yang hanya berpasangan dengan Sang Mentega, tidak dengan yang lain. Lalu ada prosesi pembakaran yang melumerkan Sang Mentega. Sang Mentega mengisi pori-pori Sang Roti dan Sang Roti akan mengikatnya dengan dindingnya yang kini kering-renyah. Sejoli yang eksotis.
Aku pun sejak lama memuja dua sejoli itu, maka obrolanpun membumbung bagai apolo yang meluncur ke ruang angkasa.
Hanya kau dan aku, tentang roti bakar mentega yang merambah pada kerenyahan dan kegurihan lain yang kita puja dalam hidup.
Alhasil suara manusia lain tak terhiraukan, terkikis habis oleh atmosfer yang melingkupi kita.
Hening seperti di Uranus.
Tiba-tiba ada yang mengajakmu ber-coffee morning, menjemputmu untuk menapaki bumi.
Sial bagiku, kau mengiyakannya.
Kini punggungmu membelakangiku, begitu pula punggung wanita di sebelahmu.
Dan kusadari atmosferku dibombardir oleh meteor yang berbeda, si wanita itu. Aku mulai menganalisa. Apakah meteor itu terlalu dahsyat? Atau atmosfernya yang terlalu tipis? Atau asaku yang terlalu melambung keluar orbit? Jatuh dari tempat yang terlalu tinggi memang sakit sekali.
Ah, mungkin seharusnya aku tetap menginjak bumi.
Duduk tenang menikmati roti bakar mentega, berputar pada poros hidupku sendiri.
Membiarkan atmosferku menaungi, melindungi.

Saturday, January 19, 2013

Mari Kita Berbincang Tentang Cinta Disini (1)

Sembari menyeruput teh panas dan semangkuk gosip pedas. Diantara serpihan-serpihan remeh cerita ringan tentangnya. Seperti tak pernah habis, terus menerus saling menenggak berita-berita baru. Apapun yang berkaitan mengenai lelaki murah senyum itu, selalu mampu menyedot wanita-wanita muda yang chik dan enerjik ini untuk bergerumul di cubicle tepat sebelah kiriku. Cubicle Letha, sahabatku. Sampai-sampai aku yang tadinya enggan-engganan, jadi mulai kecanduan merekam gosip-gosip baru tentang lelaki itu. Kepalaku rasanya penuh sesak dengan nama itu. Tapi aku tidak seperti mereka—menurut mereka hanya belum kecanduan saja—yang kecanduan melebihi minum kopi.

Aku terkadang hampir jengah, dipaksa menyeduhkan ‘kopi-kopi’ panas untuk mereka. Sehari saja penuh diam, atau bahkan baru selangkah saja keluar dari ruangan lelaki itu, pertanyaan-pertanyaan sudah banjir bergerumul di kanan-kiri telinga. Mulanya aneh, hal yang buatku biasa selalu tampil istimewa bagi mereka. Lama-lama aku tau, itulah cinta.

Oh, kuralat. Entahlah itu cinta, kagum, fanatik, atau apalah yang lebih tepat.

Jarang sekali bisa bertemu suasana hening di ruangan ini. Hanya sesekali, itupun sesaat kemudian pecah tawa-tawa renyah di atas piring-piring camilan siang. Lagi-lagi ‘kopi-kopi’ manis si pemilik ruangan di  seberang meja kerjaku itu di seruput. Di luar hujan, tapi kopi-kopi semakin lama diaduk semakin bertambah panas. Entah mereka menyadari atau tidak kalau tawa-tawa renyahnya bisa terdengar sampai ruangan di belakang mereka. Aku sesekali ikut tertawa atau tersenyum simpul, lebih sering menertawakan tingkah wanita-wanita cantik ini. Tapi—kuralat lagi—sepertinya mereka memang tak peduli, terdengar pun mungkin malah lebih baik.

Denyit pintu terdengar, senyum-senyum manis dari bibir yang sedari tadi tak berhenti mengunyah gosip tertarik lebar kearah sosok lelaki itu. Lelaki yang kini mendekati cubicle-ku. “Je, ke kamarku yah. Eh, ruanganku!” sergahnya buru-buru sambil senyum jail melirik ke arahku. Tak sampai sedetik tawa-tawa renyah mereka kembali pecah, sekilas ada yang melirikku, ada yang justru mengernyit seperti cemburu. Sisanya malah berkata, “sudah diundang ke kamar tuh!”. Aku hanya menuang senyum santai ke dalam cangkir-cangkir kopi mereka. Mereka pasti sudah berharap-harap menunggu dituangkan kopi-kopi panas lagi.

Aku Rindu Surat Cinta

Sudah lama rasanya tak terima yang namanya surat cinta. Entah kapan yang terakhir kalinya. Membuka surat dengan katakata yang spontan berterbangan di dalam lipatannya, seperti menunggu rintik hujan jatuh pelanpelan, menunggu ketenangan. Ada gerimis diantara barisbaris kata, dan harum dedaunan basah. Aroma tanah yang menguap. Seperti parfum yang membuatku terus merindu.

Setelah membaca surat cinta, hatiku rasanya penuh dengan katakata yang berbondongbondong, meluapluap, menarinari, ingin segera membalas cinta si pengirim. Meski kadang tak tau siapa dia. Tapi rinduku akan surat cinta sudah tak terbendung, seperti hujan di luar yg terjun bebas, tak peduli matahari masih menyeringai yang langsung buruburu menyipit.

Menerima surat cinta bagiku rasanya tak perlu menunggu jatuh cinta. Atau menanti hari valentine. Bisa kapan saja. Mengirimi surat cinta berarti membiarkan kepingankepingan aksara berjabat erat. Jangan lupa melekatkan rindurindu disudut amplop. Agar cinta dan senyum di dalam surat tak hilang dicuri pak pos.*

Monday, January 14, 2013

Radar Pluto

Buddy menyuruhku mengaktifkan radar Neptunus karena parahnya sinyal di kamarku. Aku bilang radar Neptunus tidak berefek mungkin karena aku adalah Virgo, bukan Aquarius. Aku iri dengan Buddy yang Aquarius dan meminta dia menyampaikan ketidakadilan yang kurasakan kepada Neptunus. Mengapa dia pilih-pilih agen? mengapa dia menolakku hanya karena aku bukan Aquarius?
Buddy menyarankanku untuk melamar menjadi agen Pluto. Pluto yang dewa tanah mungkin lebih cocok dengan unsurku. Disamping itu, letak planet Neptunus dan Pluto berdekatan, jadi Buddy dan aku bisa main bareng. Begitu katanya. Lalu aku akan mengumumkan kepada dunia bahwa semua non-Aquarius bisa menjadi agen Pluto. Jadi aku punya banyak teman untuk membalas sakit hatiku pada Neptunus.
Aktifkan radar Neptunus : Bip Bip!
Aktifkan radar Pluto : Guk Guk!
Dan akupun berubah pikiran, sepertinya tidak ada yang ingin menjadi agen Pluto jika aktivasi radarnya seperti itu. Aku berlalu, sambil mengumpat kepada Mickey Mouse. Kenapa dia memberi nama anjingnya Pluto!
               

Tik

Tik, tik, hujan rintik-rintik. Basahnya memercik, laju sampai samudra atlantik.
Tik, tik, jam dinding berdetik. Geraknya satu titik - satu titik sampai kembali ke awal titik.
Tik, tik, cinta mendelik. Sepertinya alegorik sampai pada akhirnya begitu realistik.
Samudra menguap lalu kembali hujan lagi
Detik berjalan lalu kembali ke awal hari
Cinta berkelana lalu kembali ke satu hati

Realita Mimpi

Malam ini aku tidak bisa tidur. Bukan karena pahitnya caffe americano yang kuminum, tapi karena manisnya pria yang menemaniku menikmatinya.
Ku cukup bahagia berada di tengah manusia yang kau undang pada pestamu. Meski hanya gelombang suara dari diafragmamu yang sampai ke gendang telingaku. Meski hanya sekedip tatapmu yang tertangkap oleh rasaku. Diantara manusia lainnya, aku dan kamu terhubung.
Kalau pada akhirnya aku bisa terlelap, aku berjanji akan membawamu ke mimpiku. Aku ingin bersentuhan lagi dengan suara dan tatapmu.
Mimpi, realita, mimpi, realita.
Jika realita bisa lebih indah pada akhirnya, aku berjanji akan menarikmu dari mimpi dan mendorongmu masuk ke hidupku. Tapi jika mimpi lebih indah, beri tahu aku lebih awal, agar aku tak perlu bersusah payah menunggumu.

Sunday, January 13, 2013

WAKTU

Aku terperangkap oleh waktu. Yang terhenti oleh satu wajah. Wajah yang mampu menggerakkan banyak rasa. Diantara sayup, aku yang dalam kesendirian waktu, menatap jauh dinding-dinding kosong yang harus ku interpretasikan satu-satu. Ini mungkin yang orang-orang sebut menyendiri, benar-benar sendiri. Mengapa bisa banyak orang berharap ‘sedang ingin sendiri’, ‘saya sedang butuh waktu untuk sendiri’.

Ternyata rasanya tak enak, tinggal sendiri dalam fikiran-fikiran yang berputar tak henti. Berceracau, bising,  runyam seperti benang kusut yang biasa diistilahkan orang. Kadang longgar. Tapi terus berlalu begitu dengan kata-kata yang berterbangan terdisorientasi waktu dalam satu ruang sempit. Entah sudah berapa tahun bahkan abad aku disini. Berkata-kata sendiri. Ditimpali oleh dinding-dinding dingin. Lalu disangkal oleh diriku sendiri, untuk dicerca kembali oleh kata-kata yang berserakan.

Setelah semua saling berbisik, bicara, berteriak, dan berisik. Tiba-tiba sunyi. Mereka seperti lelah dan mulutnya terkunci. Aku ingin keluar dari waktu yang terhenti disini.

Tiba-tiba aku terbangun, tapi seperti sudah berpindah keluar dari dunia waktu. Sekali aku berucap dalam hati, sepi, tak ada yang menimpali seperti tadi. Lalu ku berceracau kembali dalam hati, tetap tak ada kata-kata lain yang bergeming. Aku teriak sebisaku, tetap hening. Apakah dunia sudah terbalik?

Mungkin kini waktu yang terperangkap dalam diriku. Kucium aroma rindu...
Lalu aku melenggang mengambil handuk, dan mengambil setangkup roti bakar selai nanas.

Saturday, January 12, 2013

Tuan Hujan #1

Tuan Hujan Pemalu


kamu menyapaku malumalu
bahkan senja menyipit dan tersipu
dedaunan bergoyang kemayu
ahh, rinduku satusatu

kamu tak bisa terus begitu
lamalama dan jauh
kita satu raga dalam jingga
biarkan kelabu dan biru tanpa ratu

aku rindu kamu tuanhujan
baumu yang dingin sendu
seperti bau roti bakar
dan rasa jeruk yang kecut

Thursday, January 10, 2013

Kanvas

Aku adalah kanvas yang sedang dijajakan di toko buku. Aku bisa melihat beberapa pengunjung, ada yang hanya melirik sebentar ke arahku, ada yang sudah memandang lama sambil menyentuhku tanda hampir tertarik padaku, ada yang sama sekali tidak melihatku… lewat begitu saja.

Lalu ada tangan yang membeliku, akhirnya. Aku dibawa ke rumahnya yang sangat besar, lalu ditaruhlah aku dipojok ruangan. Aku mendengar percakapan Tuanku dengan seorang yang lain. Aku terharu ketika tahu bahwa proses yang aku lalui untuk sampai ke tangan Tuan tidaklah mudah. Katanya aku memenuhi kriteria kanvas yang diinginkannya, mulai dari tekstur, bahan, warna, ukuran, dan juga harga. Aku memenuhi semua kriteria itu!

Lama sekali aku bersandar di sini. Tuanku bahkan belum menyentuhkan satu warna pun pada diriku. Aku jadi menyesal, mengapa aku disini. Kenapa aku tidak dibeli oleh Tuan lain yang benar-benar membuatku berguna, yang menggoreskan warna-warna indah dengan guratan seni yang menawan, sehingga jadilah aku lukisan yang rupawan dan bernilai. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya menanti sambil berharap-harap cemas. Apakah aku akan melapuk dalam keadaan tetap polos seperti ini? Dibuang? Diberikan kepada tuan lain? Atau Tuan akhirnya melukisku walaupun masih ada kekhawatiran akan menjadi lukisan seperti apa aku ini.

Kenyataannya aku bukanlah kanvas, aku manusia. Aku bisa bergerak, berusaha menjadi lukisan yang aku inginkan. Aku bisa melangkah keluar dari rumah Tuan itu dan mencari tempat lain yang lebih memahamiku atau aku bisa berteriak kepada si Tuan “hey, aku ada!”. Jadi, beruntunglah kita para manusia. Lukislah dirimu dengan warna-warna indah. Jadilah lukisan yang memukau dan bernilai tinggi. Jadilah ada.

Tuesday, January 08, 2013

Tentang Buddy

Salah seorang rekan saya mengingatkan bahwa blog ini mati suri. Jadi saya coba hidupkan lagi dengan cerita pertama yang akan saya mulai adalah tentang rekan yang mengingatkan saya tentang blog ini. Di bawah ini adalah percakapan saya dengan 2 orang yang seperti kucing dan anjing, sebut saja Catty dan… Buddy (Doggy terlalu kebinatangan). Note: Buddy ini rekan yang mengingatkan saya tentang blog ini. Catty dan Buddy seperti paduan bahan sambel (tadi kucing dan anjing, sekarang sambel, terima aja ya), bisa bikin saya mulas (karena banyak tertawa). Apalagi kalau ada 2 orang lagi, sebut saja Rabbit dan Abang (bayangkan: Abang tukang kelinci) saya bisa merasa gila sekaligus bersyukur karena saya sadar bahwa saya paling waras diantara mereka.
Ceritanya berawal ketika saya dan Catty akan mudik ke Serang, kami berencana berangkat sepulang dari kantor. Buddy sudah berangkat duluan tepatnya dia ijin pulang cepat sebagai antisipasi jalanan akan sangat macet karena arus mudik lebaran qurban. Jujur saya dan Catty tidak menganggap kemacetan itu sesuatu yang WOW, toh cuma ke Serang, bukan ke Tegal misalnya. Karena capek seharian bekerja, pergerakan kami lambat. Sudah terlanjur malam, ya kemalaman sekalian, mungkin jalan akan berangsur lengang, pikir kami.
Kami berangkat jam8 malam. Naik busway menuju slipi. Di busway penuhnya minta ampun, jalananpun penuh tiada tara. Diantara hempitan manusia ini, ada BBM masuk dari Buddy.
Buddy   : Nyai hendak naik dari mana? Bisa dipastikan bus penuh, hati-hati ah.
Karena sumpek, sensi, saya dan Catty membaca kalimat Buddy seperti ledekan, seperti menakut-nakuti, bukan kekhawatiran atau perhatian. Catty menyambar BB saya.
Catty     : Matiii aja lo, kasih advice kayak gini.. *salam fingercross * Catty. Doain ngga penuh dooong!
Buddy   : Makanya ini ditanya mau naik dari mana. Kalo bisa ke terminal biar duduk. Tapi berhubung udah nyolot duluan. Ya saya mah mau tidur aja lah ya.. Dududuuu~
Saya       : Tapi gue kan ngga nyolot *salam cinta* Saya. Telat juga sih. Ini udah di busway
Buddy   : Rencananya mau kemana? Masa gak pengalaman juga sih kalo mau libur begini ih.
Saya       : Kita baru aja sampai di Slipi, lagi nunggu bus ke Serang.
Buddy   : What? Baru nunggu bus ke Serang?
Saya       : Yup, penuh-penuh semua busnya.
Buddy   : I told ya
Saya       : Then? Should I say "wow"? – Saya mulai kesal karena perkataan Buddy bukannya menenangkan malah memperkeruh suasana. Saya menunjukkan BBM ini ke Catty.
Buddy   : Halah!
Catty     : Sapiii lu, jahat *Catty*
Buddy   : Perasaan udah dibilangin dah jangan pulang malem. Makanya tadi gue ijin pulang cepet di kantor. Tadi aja gue berdiri di bus, padahal masih siang. Di Slipi rame banget orang yang mau naik bus ya? Pada brebut?
Saya       : Kepepet ih, kerjaan lagi hectic banget. Ga bisa ijin pulang cepet. Jangankan itu, gue aja baru nyadar lebaran besok tuh kemaren.
Buddy   : Parah! Jangan terlalu gitu ah kerjanya, di luar dunia kerja masih banyak yg lebih indah. Sayang buat dilewatin karna kerjaan aja.
Saya       : Lebaran besok ngga bakal dilewatin kok, ini juga bakal dapet bus cuma harus bersabar aja.
Buddy   : Tadinya gue mau naik motor, tapi lg kurang fit. Maaf ya ngga jadi bareng – Awalnya saya mau dibonceng Buddy, naik motor Buddy, ke Serang.
Saya       : Lagian sama Catty juga, masa dia sendiri.
Buddy   : Biarin! Dia di pentil aja kalau ikut. Jangan kasih BB lo ke Catty. Nanti gue disuruh mati lah, dikatain sapi lah, aneh-aneh aja dia mah.
Saya sih waktu baca langsung ketawa sama pernyataan Buddy terakhir. Lumayanlah bikin saya dan Catty ketawa-ketiwi di pinggir jalan kota jakarta yang berdebu ini, sampai akhirnya kami dapat bus sekitar pukul 22.30 WIB.
Ini baru segores cerita tentang mereka.