Tuesday, February 24, 2009

VYOTCH

...yang berdiri menyamping dengan kemeja yang tak di kancingi tertiup angin dan satu kamera menggantung di bahunya yang tegap sedang memandang ke satu titik dengan dalam dan...—

Semuanya dapat terawali hanya dengan satu kata: cinta.
Aku terbangun di setiap pagi pun—aku yakin—karena cinta.
Suara alunan musik dari petikan gitar seiring siulan burung gereja telah membangunkanku pagi ini. Petikan gitar yang tenang. Kurasakan udara sejuk berpadu sisa embun tadi malam membaur cahaya mentari dari sela-sela jendela—yang hanya ada satu, selebihnya hanya kaca dan dinding rata—di sudut kamar ini. Aku sempat terdiam, mengumpulkan nyawa. Kusibakkan selimut, lalu berjalan mendekati jendela, mencari alunan suara tadi. Kudorong daun jendela ke arah luar, mataku menyipit menghindari sinar sang mentari yang memaksa masuk. Lapangan parkir di bawah masih terlihat lengang, karena pagi baru saja datang.
Satu kamar di hadapanku, di apartemen yang berseberangan denganku, jendelanya masih tertutup rapat. Aku tahu, petikan instrument itu bukan berasal dari sana. Karena yang kutahu kamar itu dihuni oleh seorang lelaki paruh baya yang pemabuk. Kuarahkan kepalaku ke kiri, dengan mata yang masih remang-remang, aku mencari-cari.



Namun yang kudapati hanya rentetan pakaian basah yang sedang dijemur. Apartemen di sana memang lebih banyak di huni oleh ibu-ibu rumah tangga—yang rajin mencuci pakaian saat subuh masih gelap-gulita—bersama keluarganya. Yang kutempati ini memang apartemen tua, dengan design yang kuno—namun semakin kuno semakin antik, menurutku—dengan ukiran-ukiran tua di setiap kayunya.
Kudorong daun jendela sebelah kanan agar lebih merapat ke tembok dan secara perlahan kulihat seorang lelaki tertunduk dengan gitar di pangkuannya serta tangannya yang tak berhenti memetik. Suara itu pun terus mengalun. Mulutnya tertutup rapat, diam, tak bersuara. Kuletakkan kedua lenganku di atas kusen jendela, sedikit menjulur keluar. Kuhirup udara dalam-dalam. Kurasakan hawa yang berbeda menyeruak masuk ke dalam kamar. Seperti kehilangan kesadaran, aku terdiam...

Aku hanya duduk terdiam..
Menunggu untuk tahu namamu..
Lagu-nya Malique & The Essential mengalun sendiri di kepalaku. Kunikmati simfoni gitar akustik yang ia mainkan. Aku tersadar, bahwa sudah terlalu lama aku memandanginya. Ia masih tak berkutik. Tetap duduk di sebuah kursi di teras apartemen-nya dengan secangkir minuman di atas meja bundar mungil di samping kanan-nya yang sama sekali tak ia hiraukan dari tadi. Dengan perlahan tapi pasti, ku jauhkan tubuhku dari mulut jendela. Merapikan tirai dan gorden kuning. Kemudian meraih handuk dan segera berlari ke kamar mandi.

Kuraih tas dan roti isi sisa semalam secepat kilat. Karena aku tak mau terlambat. Aku hampir lupa kalau hari ini aku punya kesibukan. Hupp... semuanya akan kumulai.
***
Kulangkahkan kaki, menyegerakan diri. Uhhk..uhk!. Karena terburu-buru, aku tersedak sedangkan aku lupa menyimpan Aqua 600 mili dalam tas-ku, ya.. beginilah jadinya. Tapi, aku segera menenggak segelas Aqua gelas yang kubeli di dalam bus tadi. Kakiku melangkah lebih cepat. Kutuju sebuah rumah kecil. Itu sebuah gallery. Sebuah papan kecil berdiri tegak didepannya, bertuliskan: Vyotch Gallery. Sebuah gallery sederhana. Aku tahu aku sudah terlambat beberapa puluh menit. Tapi tak masalah, aku masih bisa menikmati semuanya.
Hari ini, di sini, baru saja di buka pameran photography. Suasana romantisme masa lalu sangat hangat terasa ketika baru saja memasuki gallery itu. Tak jauh dari pintu masuk, terpampang foto sepasang orang tua dan anak kecil yang sedang duduk di atas sepeda tua, berlatar daerah pedesaan dengan jalan panjang tak menikung. Di dinding berikutnya kulihat foto seorang abang becak sedang duduk di atas becak-nya sembari mengibaskan topinya. Di bawah foto itu tertulis: “Becakku Becakku, Becakkukayuh Becak”—18 November 2001. Kemudian, berhadapan dengan foto tukang becak tadi terpampang sketsa lukisan wajah seorang gadis desa. Garis-garis sketsa berwarna putih dengan berlatar konte yang hitam menampakkan kesan lain. Berikutnya, ada pemandangan yang sudah tak asing lagi kita lihat, seekor burung gagak hinggap diatas kerbau sambil mematuki tubuh kerbau itu, dengan latar persawahan. Yang tak kalah menariknya lagi, seorang lelaki berdiri menyamping dengan kemeja yang tak di kancingi tertiup angin dan satu kamera menggantung di bahunya yang tegap sedang memandang ke satu titik dengan dalam dan tenang. Foto yang paling menarik dari pameran kali ini.
“Tukang Poto; Photographer”--03 Mei 2006.
***
Disepanjang jalan pulang, aku duduk sebentar di kursi kayu yang ada di atas trotoar, di samping kios kecil. Diseberang jalan, di atas trotoar juga, aku melihat seorang pemuda tertidur bersandar di pintu warung kelontongan miliknya. Tertidur pulas dengan kaki terjulur ke tanah. Dengan kamera tua yang kubawa, ku potret ia. Aku pun meneguk sebotol Teh Botol. Aku masih memperhatikan warung di seberang itu, penjaga warung yang tertidur pulas tadi sudah bangun, dan kini ia tak tahu kalau tidurnya tadi sudah kumemorikan dalam klise-klise yang ada di dalam kamera tua ini. ^-^
Aku berjalan menuju halte terdekat. Menunggu bis yang seharusnya datang 10 menit lagi. Banyak orang berlalu-lalang. Seorang lelaki duduk jauh dariku. Kuperhatikan, ia mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya.
Hah!! Gambar itu? Foto di Vyotch gallery. Diakah modelnya?

Bus yang kutunggu telah tiba. Kulangkahkan kaki menyegerakan diri, karena hari sudah sore. Kulihat kembali lelaki yang duduk itu. Namun ia sudah tak disana. Kemana dia? Kenapa aku tiba-tiba jadi merinding begini?
Aku berjalan mencari bangku yang kosong. Kemudian aku duduk di sebelah lelaki... yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya tadi. ohh... it’s so mysteriouz! Bagaimana bisa secepat itu dia masuk kedalam bus? Aku sempat bingung dan ragu untuk duduk disitu. Bahkan sempat tercengang melihatnya, tapi ia tak berkutik sama sekali, tetap terdiam. Kulihat headset terpasang di telinganya dan walkman di pangkuannya. Aku pun duduk di sampingnya. Terlihat rintik-rintik air hujan membasahi kaca jendela, di luar gerimis mulai turun. Aku mencoba menenangkan diriku. Kuletakkan tas di pangkuanku.
Di pundaknya masih bergantung kamera. Sepanjang jalan ia tak berkutik sedikit pun. Semuanya berjalan kaku dan lambat. Atau mungkin aku saja yang merasa begitu?
Seorang kondektur berteriak, ternyata kami telah sampai di halte berikutnya. Aku tersentak dan terburu-buru bangun. Ia pun turun di belakangku. Karena hujan semakin deras, aku berteduh dulu. Di halte ini hanya ada aku dan lelaki—yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya—berdiri. Karena kursi halte disini sudah rusak dan berkarat.
Hujan bertambah deras lagi. Kami pun basah kuyup. Sebenarnya halte ini tidak jauh dari apartemen-ku, tapi berhubung hujan benar-benar besar hingga menghalangi pandangan mataku, jadi aku lebih memilih untuk menunggu reda. Sialnya, satu mobil yang melintas cepat di hadapanku mencipratkan air kotor yang menggenangi jalan. Damn it! Tas dan bajuku basah, mukaku juga. Untungnya kamera telah kumasukkan kedalam tas. Kalau tidak, kamera tua seperti itu pasti mudah sekali rusak jika terkena air. Dan seorang amateur sepertiku, mana bisa membeli kamera baru. Sambil menyeka wajahku dengan tangan, lelaki yang berdiri tak jauh disampingku itu, menawarkan tissue. Entah ia terciprat juga atau tidak, have no time for caring him. Aku saja sudah sibuk sendiri sedari tadi, menyeka yang kotor disana-sini. Sempat kulihat wajahnya yang tak berekspresi sambil menerima tawarannya itu. “Makasih!”
Lelaki itu duduk di bangku halte yang berkarat, memang masih ada sedikit yang bisa di duduki. Setelah kurasa hujannya mulai mengecil—walau masih belum juga reda—segera kuambil langkah seribu, kudekap tas kecilku, berlari, berlomba dengan rintik-rintik air hujan. Sempat terfikir tentang lelaki itu, entah ia masih duduk disana atau mungkin... nanti tiba-tiba ada dihadapanku lagi ketika sampai di apartemen. Oh no!
Kuketuk pintu apartemen, ternyata pintunya tak dikunci. Aku masuk, kubersihkan bajuku agar tidak meninggalkan air di lantai ketika naik ke lantai atas. Masih di basement, aku mengambil segelas teh panas, kularutkan beberapa sendok gula. Lalu kuseruput teh manis panas itu tanpa menunggu dingin, karena tubuhku sudah terlalu menggigil. Tiba-tiba, terdengar kreekk... dari pegangan pintu yang bergerak dan pintu tertarik keluar. Seseorang masuk, mungkin salah seorang tetanggaku yang juga terjebak hujan diluar. Namun, yang muncul hanya seorang lelaki...(aku tersentak Lagi!!) yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya.
Apa yang ia lakukan di sini? Mungkinkah sedari tadi ia memang mengukutiku? Pantas gelagatnya sedari tadi sering membuatku kaget. Tapi siapa dia? Tiba-tiba tubuhku merinding. Ia langsung menuju ke arah tangga, dan naik. Hah! Mau kemana dia? KAMARKU KAH??
***
Ketika kita memilih untuk mempertanyakan tentang cinta
jawabannya justru akan semakin menjauh
Maka jangan pernah kau kejar
biarkan ia menghampirimu & menjelaskan sendiri padamu
tentang pertanyaan konyol yang semestinya tak pernah kau tanyakan itu
Di kamarku..
Setelah mandi dan mengganti pakaian yang tadi basah kehujanan, serta segera me-lap kamera tua kesayanganku—karena memang hanya itu yang kupunya—, aku membuat susu panas untuk menghangatkan badan. Kudengar kembali alunan gitar yang mengusik tidurku tadi pagi,

Mengalun simfoni indah,
bersamaan dgn saat aku mengetahui keberadaanmu
Meski tanpa tatap & kata, hatiku berirama seiring gerakan tanganmu
Aku berlari dalam petikan gitarmu
hingga tergesa-gesa, dan bertumpu tanpa kesadaran
Sesaat sadar, tak tahu siapa kau
Satu jiwa yang terdiam, hanya bayang...
udara memang dingin, tapi aku masih cukup penasaran. Kubuka jendela, kulihat lagi ke apartment yang menyiku di sebelah kanan. Di teras itu lagi. Dari sanalah alunan simfoni itu kembali hadir. Simfoni itu kurasakan ikut berterbangan, berbaur udara dingin dan embun malam...(Salah! Hujan lebat yang mulai mereda). Tapi kali ini, tak terlihat siapa yang menggetarkan semua senar itu. Malam terlalu gelap, kami di lantai atas, jadi cahaya lampu yang ada di luar apartment tak sampai hingga kesini. Dan di sudut sana, lelaki itu tak menyalakan lampu terasnya—entah sengaja atau memang sudah putus lampunya—. Udara kurasakan terlalu menusuk tulang. Sweater-ku hanya ada satu, itu pun belum kering bersama pakaian-pakaian yang ku cuci kemarin malam. Masih ingat kan kalau tadi sore hujan?
***
Sore ini, ketika aku membuka pintu kamarku dari dalam—karena sedari pagi aku belum keluar rumah—, ada sepucuk surat yang isinya ternyata sebuah undangan. Dipinggir sebelah kanan bagian terdepan undangan itu, tertulis:
~Vyotch Gallery~
Dibawahnya, kolom “To:” kosong, tak tertulis namaku atau nama siapa pun juga.
Undangan pameran dari Vyotch Gallery? Mengapa bisa undangan itu tertuju langsung untukku, ke kamarku langsung pula. Padahal, informasi pameran bulan lalu saja aku dapat dari temanku.
Kubuka lembar undangan itu...

~Photography’ & Paint ExhibitioN~
@ Vyotch Gallery
Jalan Raya Veteran No. 807
Theme: “Side of ME”
Time: 21 maret 2006
Pada perjalanan detik ke: 03.30 wib
Keesokan harinya...
Aku bergegas menuju alamat yang tertera di undangan—yang entah untukku atau bukan—itu. Tak lupa pula, kumasukkan sebotol Aqua 600 mili—yang telah ku isi ulang dengan air minum—dan tak tertinggal pula kamera tua-ku. Siapa tahu ada egel-egel bagus yang kulihat sepanjang perjalanan.
Setelah beberapa menit menaiki bus kota, aku harus berjalan sedikit untuk sampai di Vyotch Gallery. Dan di sepanjang perjalanan kaki-ku itu, di jembatan tepi sungai, aku sempat melihat seorang bapak-renta-bertopi sedang mulai mendayung perahu yang masih menepi agar melaut. Terlihat arus air yang tertinggal di belakang, mengiringi perahu bapak tua itu. Di atas perahu kecilnya, kulihat ada jala ikan, ember hitam ukuran sedang, ember kecil—yang sepertinya berisikan umpan, sebuah kail sederhana yang terbuat dari bambu dan... aku langsung memotretnya. Mengabadikan gambarnya. Bapaktuabertopisedangmendayungperahunya!

Vyotch Gallery, Jalan Raya Veteran No. 807, 03.51 Waktu Di Pergelangan Tanganku. Foto-foto yang dipamerkan kali ini lebih sedikit dibandingkan pameran waktu itu. Seperti biasa, aku cukup menikmati hampir semua foto-foto karyanya. Hingga saat ini, aku masih belum tahu siapa fotografernya. Dan siapa pula yang mengirimkan undangan kedepan pintu kamarku. Hampir di ujung perjalanan kelilingku di dalam gallery kecil itu. Tiba-tiba saja aku tersentak. Kulihat sebuah foto perempuan berkaos lengan pendek dengan berselendang tas kecil di bahunya, berdiri diantara beberapa orang—tapi aku yakin, perempuan itu yang menjadi fokusnya—berpegangan pada besi, berdiri di dalam sebuah bus. Itu aku! Oh, Tuhan...
Siapa yang memotretku?? Otakku berfikir, mencoba mengingat-ingat memori apa saja yang telah berlalu. Tapi, tetap tak dapat kutemukan. Tiba-tiba.. aku merasakan hawa....
“Hai..” tegurnya datar.
Ahh... aku benar-benar sangat terkejut. Badanku merinding dan lemas seketika. Kulihat seorang berdiri di samping kananku. Dia... Lelaki yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya, meski kali ini ia memakai pakaian yang berbeda, tapi aku cukup hafal wajahnya. Masih sama seperti sekitar sebulan yang lalu. Keterkejutanku berlipat ganda. Oh God...
Tapi semua keterkejutan itu kusimpan dalam hati. Berusaha tenang, dan aku tetap diam.
“Ma’af, kalau kamu kaget. Aku yang memotret. Ma’af sekali lagi, karena tanpa seijinmu.”
“Oh..” Aku masih bingung, apa yang akan ku katakan.
“Kamu juga kan yang menunggu bus di halte, naik bus yang sama, berteduh di halte yang sama, memberiku tissue, dan masuk ke apartemen yang sama?” tanyaku panjang lebar sambil terus menatap kosong ke fotoku itu, sambil berpura-pura tetap tenang.
“Iya.”
Aku menengok ke arahnya. Tak kutemukan apa-apa. Diam, terlalu tenang. Tapi, tiba-tiba ia menatap kearahku dengan pandangan tajam. Sampai-sampai aku tak bisa berkutik sama-sekali... beradu pandang dalam diam.
Kucoba pudarkan kekakuan, “Apa kamu tinggal di apartment itu juga?”
“Ya, agak jauh dari pintu masuk di basement. Kamarku menghadap ke barat” jawabnya.
“Barat? Oh...”
***
Aku merasakan sesuatu... yang tak dapat kumengerti. Aku merasakannya... benar-benar merasakannya. Entah! Bahkan sepertinya tak dapat kupertanyakan.
Aku mulai mencari-cari alunan simfoni. Aku seperti merasakan kehilangan sesuatu. Kubuka jendela kamarku seperti biasanya. Menyeruak udara senja kedalam kamarku. Upss... kudapatkan ia, sedang meneguk cangkirnya. Kali ini kulihat gitarnya diletakkan di belakang, disandarkan di dinding dekat pintu. Masih ku perhatikan setiap gerakannya. Ia meletakkan cangkirnya, kemudian beranjak dari kursinya dan masuk kedalam kamarnya. Tak lama, ia kembali berdiri di sisi terasnya, menggenggam sebuah kamera yang sedang di-lap. Kamera itu.. aku baru tersadar... jarang ada kamera seperti ini, ukurannya cukup besar dan warna coklatnya yang... oh God! Ia adalah lelaki yang berdiri menyamping dengan kemeja yang tak di kancingi tertiup angin dan satu kamera menggantung di bahunya yang tegap sedang memandang ke satu titik dengan dalam dan tenang. Kamera itu kamera yang ada di dalam foto ‘Lelaki Tukang Poto’ dalam pameran waktu itu. Ternyata ia juga lelaki yang menjadi model foto waktu itu, ia juga sang tukang poto; photographer itu. Dan ia pun orangnya yang membangunkanku di pagi hari—untuk pertama kali aku mengetahui keberadaannya—waktu itu.
Senyumku kembali terkembang, bersama senyum senja sebelum menghilang
Kutarik nafas satu-satu, kemudian menahannya dalam-dalam,
Lalu merasakannya, bersama senyum yang terus melebar ...
I saw U at 1st time
I’ve got something, odd feeling depth in my heart
Different time, I know that U’re coming near me
and my heart beatin’ something
and sure, I fell down in love
Falling so deep…
Salahkah yang kurasa ini??
***
Alunan musik jazz bergema indah di dalam kamarku.
Tok..tok..tok!
Diantaranya terdengar sayup-sayup suara pintu diketuk. Beberapa saat, terdengar lagi. Ku kecilkan volume tape-ku. Sekali lagi, terdengar tok..tok..tok! aku beranjak mengambil sweater-ku dan membuka engsel pintu, kutarik gagang pintu sedikit.
“Hai..” ujarnya.
“Hai. Apa kabar?” Ujarku sedikit kaku, terkejut karena dia yang ada dihadapanku. Si lelaki tukang poto.
“Alhamdulillah, baik. Ma’af mengganggu.”
“Nggak apa-apa. Umm.. ma’af juga nggak bisa ngajak kamu masuk. Kamarku berantakan.” Kami hanya berdiri bersampingan menyandar ke dinding, di luar pintu kamarku.
“Oh, nggak. Aku bukan mau bertamu ke kamar kamu. Kalau nggak keberatan, kita jalan ke luar, cuaca sore ini keliatannya cerah.” Perkataannya sontak membuatku kaget. Ia mengajakku jalan??Is it like a dating? No! Mungkin cuma jalan-jalan sore ke taman kota. Ya!
“Umm. ” Kami bertahan pada detik-detik kosong.
“Ok. Tapi nggak keberatan kan kalau tunggu sebentar di sini selama aku ganti baju?”
Ia hanya tersenyum kecil, mengangguk dan menatap mataku.
Beberapa menit kemudian aku siap di balik pintu. Kutarik nafas satu-satu. Membuka pintu dan kembali menatapnya. Kami lanjutkan dengan berjalan menuruni tangga apartement tua ini meski dalam kekakuan. Aku benar-benar merasa kaku, bingung harus bagaimana. Aku melihatnya dari ekor mataku. Sepertinya ia begitu nyaman dengan keadaan ‘diam vs diam’ ini.
***
Masih kusimpan undangan itu. Masih kusimpan semuanya. Bahkan tak mudah menghapus semua mimpi dan kenangan itu.
Kuamati foto terbingkai kayu, ada senyum yang semakin lama semakin memudar di sana. Kubuka diary yang telah lama tertutup...

Mengalun simfoni indah,
bersamaan dgn saat aku mengetahui keberadaanmu
Meski tanpa tatap & kata, hatiku berirama seiring gerakan tanganmu
Aku berlari dalam petikan gitarmu
hingga tergesa-gesa, dan bertumpu tanpa kesadaran
Sesaat sadar, tak tahu siapa kau
satu jiwa yang terdiam, hanya bayang...
KEMUDIAN ASA HILANG!!!
Kemudian kutambahkan, dengan berbagai macam rasa yang berdesakan kutahan...
31 juli 2006
Aku dan bebanKu
Aku dan beban
Beban dan aku
Beban terapit di dua tanganku
Beban mengapit dua lenganku
Beban mendekap dua pundakku
Beban menutup dua mata dan telingaku
Beban mengurungku dalam dua tembok
Beban membekap mulutku
Beban terkurung dalam hatiku
Beban, terkurung aku!
Setelah ia meyakinkanku dengan cintanya, ia pergi membiarkan cinta itu berjalan pincang dan menghadapi masalah2 itu sendiri dgn 1/2 jiwa yg telah t’Luka, karena 1/2 jiwa lagi--yang mampu m’Jaga—t’Lah pergi. Ia b’Hasil menyusun cinta itu dgn rapi, namun selanjutnya.. ia pergi m’Ninggalkan susunan itu tanpa m’Jaga dan m’Lindunginya. Membiarkan’y rusak dan hancur.
***
Lelaki yang berdiri menyamping dengan kemeja yang tak di kancingi tertiup angin dan satu kamera menggantung di bahunya yang tegap sedang memandang ke satu titik dengan dalam dan tenang, telah menghilang. Pun lelaki yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya, tak akan pernah ada lagi untuk memenuhi semua baris kisah dalam hidupku.

Mungkin Tuhan hanya punya skenario ini untuk dibagikan kepada kita. Hanya skenario ini yang tersisa. Dan hanya kita.

1 cuap-cuap:

sastart said...

Gue suka cerpen ini, penuh rasa dan gue jadi dapet inspirasi buat cerpen gue. Thx Fa!

myRa

Post a Comment