Friday, February 13, 2009

Azwaajaa

Oleh : Mira Septiyaningsih

Kening menyapu kain beludru di bawahnya
Pikir melayang berusaha menghampiri pintu munajat
Hati merintih sekaligus memaksa untuk tegar
Mata terpejam menatap tiada
Dan bibir berucap harapan dan do’a

Derap langkah seorang pria asing menjadi pemandangan yang memesona di siang hari yang menyengat ini…
Aku yang duduk di bangku paling depan di ruang sederhana ini laksana terhanyut dalam irama kedua kaki yang kian mendekat. Beberapa anak melongok melalui jendela kaca, sebagian melakukan hal yang sama melalui jendela tak berkaca. Sudah kukatakan, ruang kelas ini memang sederhana, atau lebih cenderung pada… kurang layak!
Mataku terpana melihat si pemilik kedua kaki jenjang itu, dan jantungku berdetak hebat tatkala ia memasuki ruang kelasku. Riuh ucapan tanda kekecewaan terlontar dari anak-anak kelas lain, ‘ustadz, mengajarlah di kelas kami saja!’
Ustadz Farid, begitulah ia disapa. Nama lengkapnya adalah Farid Zainul Arifin, usianya 18 tahun. Usia yang amat muda untuk menjadi seorang ustadz, dan justru membingungkan mengapa ada seorang muda yang memilih untuk menjadi ustadz. Kemampuan berbahasa Arab dan Inggrisnya perlu diacungi jempol. Lulusan pesantren Gintung rata-rata memang memiliki kemampuan hebat tersebut.
Ustadz Zainudin memperkenalkan pria itu seraya menegaskan kepada kami bahwa posisi dirinya akan digantikan oleh sosok yang berusia jauh lebih muda darinya. Akhirnya sosok yang sedari tadi tersenyum hormat atas perkenalan Ustadz Zai mengenai dirinya kini mengawali interaksi penuh arti kepada kami saat ia berucap “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh”.
Sambil menyapa kami dan bercerita tentang dirinya, senyum manis itu tidak pernah lepas dari bibirnya. Suaranya yang merdu dan berintonasi jelas membuat ustadz tampan ini mendapatkan perhatian kami sepenuhnya. Tidak ada yang mengobrol, tidak ada yang ingin melewatkan pandangan, perkataan, dan perbuatannya barang satu detik saja.
Tiba saat untuk ia mengabsen kami, siswa-siswi kelas 3 di Madrasah Mu’awanatusy Syuban. Satu persatu ia memanggil nama kami dan giliranku pun tiba. Nabil Addhia Shalihah. Aku mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi, antusias. Ini tidak berlebihan, karena aku memang seperti itu setiap kali mengangkat tangan, namun kali ini dengan senyum yang amat mengembang. Sebesit gugup lewat dengan indahnya di hatiku ketika Sang Ustadz juga tersenyum manis kepadaku.


Ini adalah sekolah agama tingkat Ibtida’iyah atau setingkat dengan SD. Karena dua tahun sebelumnya aku terlambat daftar, maka ketika aku duduk di bangku kelas 3 SD, aku baru masuk sekolah agama ini. Tapi banyak siswa dengan kondisi yang sama denganku, bahkan ada yang senjangnya lebih lama. Ini bukan masalah, siapa saja bisa menuntut ilmu disini. Menginjak tahun ketiga aku di sekolah agama sekaligus tahun kelima di sekolah dasar merupakan tantangan menyenangkan untukku. Alhamdulillah aku bisa meraih prestasi di dua sekolahku ini. Aku tidak peduli tanggapan teman-temanku tentang bangunan sekolah agamaku yang bobrok. Disini justru menjadi tempat pembentukan keislaman seseorang agar tidak bobrok.
Beberapa anak kelas 6 mondar-mandir melewati kelasku, tidak sulit bagi siapa pun untuk melihat keseluruhan isi kelas disini. Mereka yang sudah lebih dewasa itu kentara sekali sedang mencari perhatian ustadz baru kami. Sesekali mereka tertawa kecil lalu mondar-mandir lagi. Hmm, apa mencari perhatian seorang ustadz tampan dan pintar bisa membuat orang kelihatan konyol ya? Pikirku.
Aku menikmati materi demi materi yang disampaikannya. Subhanallah, cara ia mengajar sangat baik dan menyenangkan. Aku semakin semangat dalam menyimak. Ketika pelajaran tajwid, ustadz membacakan ayat-ayat Al-qur’an dan berhenti pada kalimat tertentu lalu menanyakan hukum bacaannya kepada kami.
Ia membacakan surat Al-Mujaadilah ayat 11 tentang sopan santun menghadiri majelis. Pada kalimat ‘lakum tafassahuu’, mim mati bertemu huruf ta, hukum bacaannya apa? Ustadz memanggil nama seseorang untuk menjawabnya. Hal ini ia lakukan agar cepat mengenal murid-muridnya. Laila tidak bisa menjawabnya, dilemparkan kepada Subron lalu Tamim pun masih belum ada yang bisa menjawabnya.
Akhirnya ustadz melemparkan kesempatan kepada siapapun untuk menjawabnya. Tanpa ragu, aku mengangkat tangan kananku setinggi-tingginya seperti yang selalu aku lakukan.
“Ya!” Ia menatap ke arahku, mempersilakan. Ternyata hanya aku yang mengangkat tangan.
“Idzhar Safawi!”
“Bagus, Nabil.”
Allah, ia hafal namaku!
Ayat demi ayat, pertanyaan demi pertanyaan, dan pertanyaan lemparan hanya aku yang bersedia mengangkat tangan untuk menjawabnya. Sampai-sampai ustadz tidak lagi memberi kesempatan kepadaku karena berharap ada murid selain aku yang bisa menjawabnya, atau paling tidak mau mengangkat tangan.

Apa aku sudah mendapatkan perhatiannya?
Akulah yang menonjol diantara 50 teman sekelasku
Apa gunanya ini?
Penghargaan diri karena aku pintar?
Atau aku terkagum-kagum oleh sosok pria ini?
Pria 7 tahun di atasku
Dan aku tidak pernah merasakan hal seaneh ini sebelumnya
Aneh, namun
Bahagia

Sharaf…
Pelajaran menghafal kosa kata bahasa Arab. Tentunya kosa kata ‘makan’ akan berbeda untuk saya, kamu laki-laki, kamu perempuan, dia laki-laki, dia perempuan, kami, dan masih banyak lagi isim dhomir lainnya.
Kami harus menghafal secara lisan dihadapan ustadz wali kelas kami, jika lulus satu set kata akan diberi tanda tangan oleh ustadz tersebut. Targetnya adalah 1 buku sharaf 100 halaman, 1 halaman terdiri dari 5 set kata (5 kolom tanda tangan ustadz), 1 set kata maksimal terdiri dari 14 kata.
Sore sepulang sekolah agama, aku dan beberapa temanku mengunjungi rumah Ustadz Farid untuk menghafal sharaf. Sebenarnya tidak harus seperti ini, namun kesempatan untuk menghafal di sekolah sangat sempit. Aku baru tahu, ternyata rumah ustadz dekat dengan rumahku. Maklum saja, ustadz sedari kecil menuntut ilmu di pesantren dan lebih sering tinggal di rumah saudaranya di Tangerang.
Hafalan diselingi dengan obrolan yang mengakrabkan diri satu sama lain. Begitu banyak pengalaman ustadz yang ia bagi, namun ia selalu meminta kami untuk bergantian dalam menceritakan kabar dan keseharian kami.
“Hati-hati di jalan, tetap rajin belajar dan beribadah ya!”
“Insya Allah, Ustadz.”
“Hati-hati…!”
“Lho, tadi kan Ustadz sudah bilang?”
“Oh, umm, iya ya?”
Dan kami tertawa bersama.
Moment seperti ini menjadi moment yang tidak asing lagi bagi aku, ustadz, dan Shafiyah sahabatku. Rasa kagumku semakin tumbuh dan berkembang seperti halnya bunga di musim semi. Keislaman adalah airnya, pengetahuan adalah unsur hara yang mengikat di dasar hati, dan cahaya Ilahi adalah energinya.

Kagum, sayang, atau cinta besar dari jiwa yang masih mungil?
“Ustadz, aku ingin mengundurkan diri dari jabatan Ketua Murid ini. Aku tak tahan menghadapi siswa yang nakal-nakal itu.”
“Tapi teman-teman sudah mempercayakan hal itu kepadamu, Nabil.”
“Aku bukan pemimpin yang baik, ustadz. Lagi pula masih ada laki-laki yang kodratnya sebagai pemimpin lebih tinggi.”
“Anak laki-laki di kelas nakal-nakal kan? Apa mereka bisa memimpin?”
Aku terdiam, menurutku ini kesalahan sistem. Mengapa KM dipilih berdasarkan rangking kelas? Aku juga berpikir masalah attitude, teman-temanku ini mayoritas berasal dari pedesaan kumuh. Sudah mau berjalan cukup jauh untuk menuntut ilmu saja sudah merupakan suatu hal yang melegakan.
“Ustadz percaya kamu bisa, kamu punya potensi.” Lanjut ustadz sambil tersenyum, menyejukkan.
Shafiyah merangkul pundak kananku dan tersenyum. Dukungan kah? Atau ucapan turut berduka cita?
“Oh ya, di peringatan Isra Mi’raj kemarin, kamu berhasil menjadi juara kaligrafi kan? Selamat ya!”
“Ehm, aku juga juara 1 cerdas cermat loh, Ustadz! Bareng Nabil dan Hibat!” Shafiyah angkat bicara sambil senyum-senyum minta dipuji. Kami tertawa geli.
“Iya iya, Ustadz bangga sama kalian. Tingkatkan terus prestasi kalian ya!”
Akhirnya aku melangkahkan kakiku dari rumah kecil nan nyaman ini, rumah yang selalu aku rindukan, rumah ustadz yang kuidolakan.
Ahh… pantaskah hal ini aku rasakan? Bocah 11 tahun seperti aku memimpikan sosok yang melindungiku, menjagaku, dan membimbingku sampai aku dewasa, bahkan sampai tua nanti. Ini pertama kali bagiku, merasakan secercah harapan indah di masa depanku kelak, bersamanya…
***

Bel berbunyi, siswa-siswi kelas 5A SDN 1 Serang segera menghabiskan jajanannya, menghentikan permainan lompat karet, gobag, dan kelereng lalu kembali ke kelas. Suasana masih riuh dan aku masih sibuk menyiapkan buku Bahasa Inggris yang sebentar lagi akan kami pelajari. Lama kelamaan siswa-siswi tenang dan suara asing namun akrab di telingaku terdengar semakin jelas.
“Saya Farid, yang akan mengajar kalian Bahasa Inggris. Pak Khalid cuti karena bertugas ke daerah di Bayah.”
DEG!
Ia mengajar sama menyenangkannya dengan di sekolah agama, namun aku merasa canggung tidak karuan karena ini berarti ia akan mengetahui kemampuan Bahasa Inggrisku yang masih… tidak karuan.
“Nabil, silakan baca paragraf selanjutnya!”
HUUAAA….!!!
“Rajin berlatih ya!” Ujar ustadz setelah mendengarku membaca dengan tidak karuan itu.
Beberapa teman mungkin heran karena Pak Farid langsung mengingat namaku sementara absen baru satu kali dilakukan. Beberapa yang lain iri karena aku bisa langsung diingat oleh guru muda cerdas berperawakan tinggi, berkulit putih, dan berpenampilan rapi itu.

Sepulang sekolah aku bertemu lagi dengannya di depan ruang guru…
“Maaf Ustadz, eh Pak. Tadi aku membacanya kurang baik.”
“Hahaha… santai saja muridku. Lebih banyak berlatih, kamu pasti bisa. Ustadz yakin, eh Bapak yakin.” Ustadzku tertawa renyah. “Panggil aku ustadz saja, kecuali dihadapan teman sekelas dan guru-guru di sini, oke!”
“Iya Ustadz…” ujarku malu-malu. Dalam hatiku berkata, mana pantas pria semuda ini dipanggil Bapak.
“Ayo pulang bareng.”

Ia mengayuh sepeda ini dengan tenang, aku berpegangan erat pada singgasanaku sendiri. Menyusuri perkotaan ini lalu masuk ke daerah rumah kami yang cukup lengang. Saat dudukku tidak nyaman, ia berhenti sejenak dan menanyakan kepadaku apakah aku baik-baik saja. Saat aku hanya terdiam, ia menceritakan hal yang lucu. Saat aku memujinya, ia membanggakanku.

Cinta adalah urusan hati. Manusia tidak punya kuasa di hadapannya. Hati berada di genggaman kedua tangan Tuhan yang dibolak-balik sesuai kehendakNya. Andai cinta bukan mutiara berharga, tidak akan mungkin para Nabi diutus sesuai zamannya…
(Ibnu Majah: 1847)

Kebersamanku dengan ustadz tidak lama, hanya satu tahun. Satu tahun gemilang prestasi, satu tahun kebahagiaan, satu tahun menuju kedewasaan, satu tahun penuh syukur. Ia harus kembali ke Tanggerang untuk melanjutkan studi. S1 jurusan Bahasa Inggris yang ia pilih. Namun begitu komunikasi diantara kami tetap terjalin. Ia menelpon ke rumahku untuk menanyakan kabarku dan keluarga, mengucapkan selamat Milad, menasihatiku untuk rajin belajar dan beribadah, agar menjadi wanita yang sukses dunia akhirat.
Tahun berganti tahun, beberapa kali kami masih bisa bertemu. Namun ketika aku dan keluargaku pindah rumah ke Bogor saat aku duduk di kelas 1 SMA, jika ustadz berkunjung ke Serang, kami belum tentu bisa bertemu lagi. Sampai suatu saat di 1 Syawal aku sekeluarga bersilaturahim ke Serang, pada saat yang sama ustadz pun datang.
“Subhanallah, Nabil sudah berjilbab! Semakin cantik saja. Bagaimana sekolahmu?”
“Baik, ustadz. Aku sedang belajar keras agar lulus dengan nilai terbaik dan bisa melanjutkan ke PTN terbaik pula.”
“Shalat dan mengaji masih jalan terus kan?”
“Insya Allah, itu kan kewajiban kita sebagai muslimin dan muslimah. Betul kan?”
“Siip… ini baru namanya, my beloved student!”
Sumringah Nabil mendengar kalimat tersebut. Ustadz yang sampai kapan pun wanita ini kagumi masih menetap di rumah cintanya. Mungkinkah? Kedewasaan Nabil sebagai wanita berharap: Allah, jadikanlah ia sebagai jodohku. Hanya ia yang bisa membawaku pada kekuatan cinta yang positif. Lelaki yang paling menjagaku, mengertiku, menuntunku menuju kebaikan, dan hanya ia yang membuatku merasa istimewa.
Harapan ini mendorong Nabil untuk bertanya tentang pernikahan (antara siap atau tidak, perempuan ini sudah dapat berpikir ke arah sana). Sebenarnya Nabil ingin ustadznya itu hanya akan menikah dengan dirinya, kelak.
“Rencananya, kapan nikah nih, Ustadz?”
Ustadz menanggapinya dengan ringan dan santai, walau sebenarnya ia ingin menjawab “Ketika kamu dewasa dan siap, Nabil.” Namun urung, Ustadz menganggap pertanyaan itu tidak menunjukkan keinginan Nabil untuk diperistri olehnya karena Nabil hanya menganggapnya sebagai ustadz.
Dan pada kesempatan lainnya Nabil yang sebenarnya penasaran dengan isi hati Sang Ustadz, bertanya “Sudah ada calonkah, Ustadz?”
Ustadz ingin menjawab “Bila kamu ingin selalu bersamaku, mohon jangan bertanya tentang hal ini lagi.” Tapi lagi lagi urung.

Ketika kurasa cinta itu kubawa sampai aku dewasa…
Usiaku hampir 20 tahun, aku memikirkan ustadz yang kini berusia matang, 27 tahun. Saat aku menanyakan kabarnya via SMS, ia mengatakan sesuatu yang sulit bagiku untuk menerimanya. Ustadz akan menikah tepat di hari ulang tahunku yang ke 20, bersama seorang wanita yang bernama Faisha.
Nabil bisa menutupi rasa sedihnya dengan mengetik: Selamat ustadzku, semoga bahagia. Tapi apa ustadz akan melupakan aku setelah menikah nanti?
Lalu ustadz menjawab: I will always remember you, my beloved student. My beloved, forever.

Cinta adalah urusan hati. Manusia tidak punya kuasa di hadapannya. Hati berada di genggaman kedua tangan Tuhan yang dibolak-balik sesuai kehendakNya. Andai cinta bukan mutiara berharga, tidak akan mungkin para Nabi diutus sesuai zamannya. Rasulullah SAW telah menegaskan kenyataan ini: ketika api asmara mulai membara, tak ada yang bisa memadamkan kecuali nikah. Beliau bersabda, “Dua orang yang saling mencintai hendaknya segera menikah”
(Ibnu Majah: 1847)

Mereka saling mencintai. Api asmara pernah membara, namun tidak saling mereka ketahui. Api itu tersirami percikan embun ukhuwah antara ustadz dengan muridnya. Tidak bisa dijelaskan letak kesalahannya karena mungkin tidak ada yang salah. Perihal wanita yang akhirnya ustadz nikahi atau bagaimana nasib cinta keduanya, ini rahasia Ilahi. Manusia hanya bisa berharap, selebihnya Allah yang menentukan
Mereka masih menjaga cintanya, hanya mereka dan Allah yang tahu. Cinta mereka jaga karena Allah semata. Manusia tidak akan pernah kehilangan rasa cinta selama ia terus mencintai Allah. Cinta untuk dimiliki, bukan untuk memiliki. Akhirnya mereka sadar, perasaan cinta ini haruslah cinta antara ustadz dengan muridnya. Karena ustadz harus mencintai istrinya dan suatu saat nanti ada pria yang mencintai Nabil sepenuhnya.

Kening menyapu kain beludru di bawahnya
Pikir melayang berusaha menghampiri pintu munajat
Hati merintih sekaligus memaksa untuk tegar
Mata terpejam menatap tiada
Dan bibir berucap harapan dan do’a
Ia yang bisa membawaku pada kekuatan cinta yang positif
Lelaki yang paling menjagaku,
mengertiku,
menuntunku menuju kebaikan,
dan hanya ia yang membuatku merasa istimewa
Ternyata bukanlah jodohku
Tapi aku tetap bersyukur
Allah mendewasakan diriku dengan caraNya sendiri,
mengajarkanku untuk bisa menjaga hati,
memuliakan cinta,
dan meyakinkanku bahwa Allah pasti memberi yang terbaik
meskipun itu di luar perkiraan kita.
Azwaajaa* itu sudah Allah tetapkan
Dan biarlah cinta Allah yang mempertemukannya


*pasangan-pasangan


0 cuap-cuap:

Post a Comment