Friday, February 13, 2009

Paris, 2 Juni

Oleh : Mira Septiyaningsih

—...semuanya berakhir dan berawal di kota ini,
di 2 Juni...—

Indahnya kota Paris hari ini.
Musim semi yang membiaskan warna-warni bunga di setiap sudut kota menemani tiap langkahku. Bunga bermekaran, kupu-kupu menari riang, dan wangi bunga merambat masuk dengan lembutnya di penciumanku. Indah sekali! Aku suka musim ini! Aku berjalan sekitar dua blok sampai akhirnya aku tiba di depan Cafetiere. Di meja bulat dari kayu, di dekat jendela bertirai renda warna putih, seorang pria yang tak asing sedang menungguku.
“Hai, udah lama nunggu ya? Sorry…” Sahutku seraya duduk di sebelahnya.
“Nggak kok, aku baru mau pesan.” Pria itu memesan dua cangkir Cafetiere, kopi khas Perancis.
“Tha,…”
“Ben,” aku memotong. “Maaf, minggu depan aku nggak bisa datang ke acara pameran lukisan kamu, maaf… Aku tahu, kamu pasti ingin menanyakan itu kan? Dan aku tahu, itu adalah acara yang special buat kamu. Tapi aku nggak bisa datang.”
“Tha, tapi kenapa mendadak begini? Apa harus aku reschedule acaraku?”
“Tapi kemarin kan aku udah jelasin ke kamu. Aku harus ke kampus (University Pierre et Marie Curie - University Paris), ada seminar penulisan serta expo buku dan novel dunia di sana. Tepat tanggal 2 Juni. Ini kesempatan aku untuk lebih dekat dengan para penulis di sana. Kamu kan tahu obsesiku. Undangan dan pamflet udah disebar, jangan di-reschedule. Ben, maafin aku.”
Ruben hanya mengangguk perlahan, menyerah…

Maaf, bukannya aku ingin menyakitimu, Ben.
Aku,
Ahh, ini karena surat itu!
Aku bahagia sekaligus galau.
Tapi aku harus ke sana.
Dan buktikan apa yang selama ini aku impikan.
Ataukah tidak akan seperti yang aku harapkan?
Paling tidak, aku harus membuktikannya.
Apapun yang akan terjadi nanti!



Di satu sisi kota Paris yang lain.
“Kamu tahu sendiri mahasiswa ENS-University Paris kayak gimana. Terlalu kompetitif, sampai-sampai cenderung individualis. Hmm, untung ada kamu, kalau nggak, aku bisa sendirian terus.”
“Yang jelas ini menguji kekuatan kita untuk survive dan mandiri.” Seru Yoga lembut.
“Aku suka di sini. Banyak hal indah yang aku dapat.” Shinta menarik napas pelan namun menyiratkan kepastian, “Aku beruntung ketemu kamu di sini, jadi aku nggak merasa sendiri.” Lalu perempuan itu menyandarkan kepalanya di pundak pria yang sedari tadi mencoba untuk mengerti apa yang sebenarnya perempuan ini isyaratkan.
Aku coba mencari-cari, tapi aku tidak mendapatkan apapun. Aku mencarinya di seluruh penjuru kota, di kampus, di sungai Seine lalu di apartemen Gylda ini. Semua ini aku lakukan untuk menemukan jawaban yang sebenarnya ada di dalam hatiku sendiri. Tapi nihil. Aku tidak menemukannya sama sekali.
Shinta, gadis sebangsa dan setanah Jawa denganku, belakangan memang memenuhi hari-hariku. Mengobati rindu untuk menjadi pelampiasan rasa sayang dari seorang perempuan. Shinta berusaha keras, menurutku. Tapi hatiku tetap merasa She’s not my RIGTH woman.
Kemudian Shinta menegakkan badannya kembali lalu menuju pintu, ia membukanya, dan mendapati Joanna sudah berdiri dengan manisnya.
“Come in, Jo.” Shinta menyambut gadis asal Inggris itu.
“Hey, are you dating? Hahaha…!”
Shinta tersenyum.
Yoga termenung.
Mereka menghabiskan malam bersama, menuntut ilmu di negeri orang. Beberapa orang pergi ke Paris karena ingin fokus pada cita-citanya, tapi jelas tidak dapat disalahkan jika ada di antara mereka yang juga mengejar cintanya di sini. Satu di antara mereka adalah Yoga.
Malam ini, Yoga mendapatkan sebuah kejelasan : Shinta mencintainya. Kata-kata Jo terngiang di ingatannya. Jo mengatakannya ketika mereka pulang meninggalkan apartemen Shinta.
“Hey, Yoga. Apa kamu nggak bisa liat perasaan Shinta sama kamu? Sorry if I wanna know, tapi sebenarnya kamu juga suka kan sama dia? Say it to her!”


Lukisan hati.b

Satu lukisan lagi datang ke apartemenku. Ya, dari Ruben. Lukisan wanita yang bersandar di pagar tepian Seire, sendirian. Menatap sungai yang terhampar luas di depannya, kala senja di musim semi. Selembar kertas yang datangnya bersamaan dengan lukisan itu bertuliskan : Pertama kali aku melihatmu. Pertama kali aku jatuh hati.
Aku kembali mendapatkan suntikan semangat untuk memulai hari-hariku. Ruben memang kekasih yang baik, hampir satu tahun sudah aku menjalin hubungan dengannya. Awalnya , atau bahkan sampai saat ini, kadang aku masih ragu dengan perasaanku. Dia bisa memperlakukanku dengan sangat special, tapi aku merasa belum menjadi sepenuhnya diriku jika bersamanya.

Saat wanita menyatakan cintanya.
Harus kuakui bahwa aku tidak mencintainya, aku memang nyaman melakukan banyak hal dengannya, hanya sebatas itu. Tapi aku harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ia terlanjur mengira bahwa aku memberinya harapan. Lalu satu orang lagi yang membebaniku dengan menyuruhku mengungkapkan cinta kepadanya. Ahh…
Malam ini, Shinta sangat menawan. Ia mengajakku ke Opera Garnier, gedung opera terbesar di Paris, menonton pertunjukan balet dan opera klasik. Sepulang dari sana, kami berjalan sebentar mengitari jalan-jalan sekitar Opera Garnier.
Seketika wanita itu berkata bahwa ia sangat bahagia ada di sisiku. Ia juga berkata bahwa ia menyayangiku. Tak bisa kupungkiri aku sangat mengagumi wanita ini. Tapi satu hal lain yang juga tak bisa kupungkiri : Aku rasa aku tidak merasakan hal yang sama dengannya.

That day : 2 Juni
07.00 pm

Aku tak bisa menolak untuk datang ke pameran lukisan Ruben. Ia memaksa dengan suara lirih, justru itu pemaksaan yang paling sulit untuk kutolak. Dalam hatiku berkata, ada sesuatu yang tidak beres. Ada hal penting yang ingin dia sampaikan sehingga menuntunku untuk berangkat ke Montmartre.
Montmartre adalah kota tua, antik, dan cantik yang selalu memiliki sejarah dengan pelukis. Di sini juga terdapat banyak studio dan cafe berbagai pelukis. Tempat yang tepat bagi orang-orang seperti Ruben.
Vyotch Gallery itu sudah sudah ramai didatangi pengunjung. Beberapa diantaranya adalah orang penting di dunia lukis. Ketika aku memasuki galeri nuansa warna putih itu, aku mendapati sebuah lukisan utama yang menjadi bintang dalam pameran ini. Di lukisan itu, seorang pria dan wanita tengah saling memunggungi. Si wanita menunduk sedih, sedangkan si pria menengadahkan kepalanya dan menatap ke depan. Hard to Bring Together Our Heart, judul lukisan itu.
Lalu aku berjalan lagi dan kudapati Ruben tengah berbincang-bincang dengan seorang pelukis senior. Sadar akan kehadiranku, Ruben menghentikan pembicaraan dan menengok ke arahku. Lalu ia meneruskan beberapa kalimat sampai akhirnya mereka berjabat tangan.
Ruben menghampiriku, “Apa kamu ke sini karena mencintai aku, atau karena merasa tidak enak hati?”
“Apa maksudmu, Ben?” Dahiku langsung berkenyit.
“Kenapa kamu rela meninggalkan apa yang selama ini kamu impikan dan datang kemari?”
“Aku pacarmu, Ben!”
Ruben tertunduk sebentar lalu melanjutkan.
“Kamu lihat pelukis senior yang tadi berbicara denganku? Dia mengajak aku bergabung di Art Society Norwegia. Perkembangan seni lukis sedang sangat baik di sana.”
Aku berusaha memutar otakku, try to figure out what is happening.
“Dan aku menerima ajakannya. Aku akan ke Norwegia tak tahu sampai kapan, mungkin setahun, atau lebih.”
“Lalu kau tega meninggalkanku?” Hatiku berkecamuk dan pertanyaan ini cukup mewakili perasaanku. Walau ku tahu, ini bukan pertanyaan yang harus dijawab. Dia memilih pergi, artinya dia memang tega meninggalkanku.
“Zetha, aku tidak mau membuatmu menunggu, aku akan melepasmu.”
“Maksudmu?”
“Lagi pula aku tahu, ada pria lain yang kau harapkan, bukan aku. Pergilah temui dia. Aku baik-baik saja. Sungguh.” Bibir Ruben menyiratkan secuil senyuman pahit.
How do you know? Tanyaku dalam hati.
“How do I know?” Ruben berkata lagi, seakan tahu apa yang sedang berputar-putar di otakku. “Aku menemukan surat itu waktu aku ke apartemenmu dua hari yang lalu, tak sengaja kubaca.”
Dia tidak menahanku, dia malah melepasku. Mengapa dia tidak menyuruhku menunggunya? Mengapa dia justru menyuruh aku menemuinya? Mengapa dia tidak meyakinkanku bahwa aku akan lebih bahagia bersamanya? Too many questions, but I know the answer is one reason : He doesn’t love me as big as I tought.
Satu sisi aku sakit, di sisi lain aku menjadi ringan tanpa beban ketika akan menemui sebuah jawaban. Ku hapus air mataku dan aku berlari, menyongsong cinta yang kuharap akan lebih baik, lebih besar, lebih menjadikan aku seorang Zetha yang apa adanya. Cinta yang kuharapkan sejak lama, akankah terwujud di suatu malam di Paris, 2 Juni ini?
Dari balik kaca mobil ini aku menoleh. Terlihat kampusku yang ramai dengan jajaran expo buku terlihat dari gerbang kampus. Pamflet-pamflet buku terbaru dan best seller serta pamflet seminar penulisan yang menghadirkan penulis-penulis handal berdiri dengan kokoh, mengajak tiap mata yang memandang untuk datang ke acara itu.
Tapi aku meneruskan perjalanan, saat ini bukan acara itu yang aku tuju. Aku memang menyukai sastra, tapi untuk berkunjung ke tempat tersebut sebenarnya hanyalah alasanku kepada Ruben untuk tidak menghadiri pameran lukisnya. Maafkan aku, aku berbohong! Ada tempat lain yang sebenarnya ingin kutuju.
Dari depan kampusku ini sudah terlihat hamparan luas sungai Seine. Di malam hari, sungai itu kelihatan sangat dramatis karena lampu-lampu kota memantul di permukaannya. Ke tepian sungai itulah kakiku menuju.

Seine.
Pria itu menunggu, tepat di tempat yang dijanjikan. Bangku di tepian sungai Seine, awal dari sebuah perwujudan harapan. Akhirnya sesosok wanita muncul dari kejauhan, masih belum jelas terlihat parasnya. Dia berlari menghampiri, Yoga bergegas berdiri menyambut. Semakin dekat dan dekat, dan ternyata…
“Ga, aku mencarimu kemana-mana.” Shinta tergopoh-gopoh mengatur napasnya.
“Untuk apa, Shinta?”
“Menemui cintaku. Aku tak peduli kau menganggapku terlalu percaya diri atau apa, yang jelas aku tahu apa yang aku lakukan. Seseorang berkata bahwa kau akan menemui wanita lain di sini dan menyatakan cintamu. Jangan lakukan itu kepada wanita lain, Ga! Sekarang jawab aku, are you love me too?”
Yoga menghela napas panjang lalu berkata dengan yakin.
“No, Shinta. Sorry.”
Raut wajah Shinta memucat. Yoga bisa melihat itu dengan jelas. Sebelum keadaan memburuk, Yoga melanjutkan kata-katanya.
“Kau wanita yang sangat baik. Aku yakin kau mencintaiku setulus hati. Tapi, aku bukan pria yang tepat untuk kau cintai. Aku yakin di luar sana ada pria yang akan mengejarmu, meyakinkanmu bahwa kau akan bahagia bersamanya. Aku yakin itu akan terjadi. Jangan kejar aku Shinta.”
“Tapi kenapa Ga, aku kira kita sudah sangat cocok, aku nyaman ada di dekatmu, Ga.” Raut wajah Shinta semakin tak karuan, air mata mulai menerobos keluar dari mata indahnya.
“Aku sedang mengejar seorang wanita, hatiku yang meyakinkanku. Aku sedang menunggunya di sini.”
Shinta menangis, Yoga berusaha memberinya pengertian. Yoga berjanji akan selalu menemani Shinta dan tetap sayang kepadanya, sebagai teman. Akhirnya Shinta pulang diantar Joanna yang sejak awal memang menemaninya ke sungai Seine ini.
“Yoga…”
Suara itu datang dari belakang punggung pria itu. Saat Yoga menoleh, seorang wanita tengah tersenyum dengan manisnya.
“Zetha…”
Mata mereka saling bertemu, merefleksikan hati mereka yang sudah tertaut sejak lama. Tidak banyak kata-kata bermunculan, hanya rasa yang membumbung dengan elok, menari-nari di hati mereka.

Akhirnya aku menemukanmu, walau hanya lewat alamat kantormu.
Artikelmu aku baca, ternyata kau kerja di sebuah redaksi majalah di kota ini.
Aku baru tahu setelah 2 tahun di Paris, ternyata kau juga di sini.
Zetha,
Kau memberi rasa yang masih melekat di hatiku.
Dulu belum kusadari karena hatiku masih kaku.
Namun sekarang aku yakin, kaulah yang terbaik untukku.
Temui aku di tepi sungai Seine, 08.00 pm, 2 Juni nanti.
—Yoga—


Zetha kepada Yoga.
Yoga adalah cinta pertamaku, semasa SMA aku selalu bahagia karena dekat dengannya. Sejujurnya aku sudah menunjukkan perasaanku kepadanya, dia juga kuyakini punya perasaan yang sama. Namun entah apa yang membuat dia ragu, dia malah memilih wanita lain. Aku sempat galau dan membencinya. Tapi semakin aku membenci, semakin aku kehilangan dia. Jadi yang bisa kulakukan hanya tetap menyayanginya sampai kapanpun, karena itu membuatku lebih baik.

Yoga kepada Zetha.
Beberapa wanita keluar masuk hatiku. Dulu aku belum tahu mana yang terbaik di antara mereka. Jiwa muda membuatku hanya melihat wanita dari fisiknya saja, karena terus terang banyak wanita yang lebih cantik dari Zetha. Tapi kecantikan itu memudar dan rasa yang kudapat dari Zetha justru semakin menguat. Akhirnya aku yakin, Zetha-lah pelabuhan akhir cintaku.

“Pria, kejarlah cintamu dan rangkul kuat-kuat sampai kapanpun…
Wanita, peliharalah cintamu maka pria akan datang dengan cintanya untuk menemanimu…”

—Pasti ada cinta bagi insan yang meyakininya—
The End.

Cerpen ini gue ikut sertakan pada lomba Bonjour (Be Good in Journalistic) 2008

0 cuap-cuap:

Post a Comment