too enthusiasthic of art and belleslettres.
we luv reads, luv eats, luv write, luv paint, luv think about luv (wha??!).
we don't like smoking!
and of course, we always believe our hearttalks.
Setiap detik adalah moment
seperti buih yang langsung berpendar ketika sampai
seperti cahaya yang memudar setelah usai
serupa rintik yang sekejap menguap kembali
dan waktu yang tak kan terulang
dari sana kita belajar cinta
mengasihi untuk sesama, tanpa berasa-asa
kita bisa belajar pada kata
banyak darinya yang mampu berdiri sendiri
tapi bersanding membuatnya lebih berarti
manusia-manusia kaca
bercerita pada hujan
melalui nada tanpa rupa
bersenandung dengan iring-iringan cahaya
menari memenuhi ruang-ruang warna
mereka tak bisu kata
hanya memilih diam sebagai bahasa
tak hanya ragu yang menipu
tapi waktu yang purapura tak tahu-menahu
Aku melamunkanmu, sedikitsedikit. Dicicil saja, supaya tak terlalu ketara. Toh, kalaupun sekaligus banyakbanyak aku juga nanti yang repot. Menjinjing berikatikat rindu dalam kantong plastik. Bisabisa orang serba tanya 'habis memborong rindu dari mana?'. Ahh, aku juga sedang malas kok menjawab. Hanya ingin melamunkanmu sedikit lagi.
Ini saja, di saku bajukuku rindu sudah penuh.
Aku sepertinya harus mencari cara lain melamunkanmu.
Kalau cuaca berangin gini, biar rindu kubentuk bola kapas
Suatu pagi berlangit emas kau mendapatiku sedang duduk sendiri.
Kau melintas dan menengok isi tempat makan di tanganku.
Adalah setangkup roti bakar mentega disana. Dan oh, itu menu sarapan
kesukaanmu.
Kau mulai
bercerita. Ini tentang Sang Roti yang hanya berpasangan dengan Sang Mentega, tidak dengan yang lain. Lalu
ada prosesi pembakaran yang melumerkan Sang Mentega. Sang Mentega mengisi
pori-pori Sang Roti dan Sang Roti akan mengikatnya dengan dindingnya yang kini
kering-renyah. Sejoli yang eksotis.
Aku pun sejak
lama memuja dua sejoli itu, maka obrolanpun membumbung bagai apolo yang meluncur
ke ruang angkasa.
Hanya kau dan
aku, tentang roti bakar mentega yang merambah pada kerenyahan dan kegurihan
lain yang kita puja dalam hidup.
Alhasil suara
manusia lain tak terhiraukan, terkikis habis oleh atmosfer yang melingkupi
kita.
Hening seperti di Uranus.
Tiba-tiba ada yang mengajakmu ber-coffee morning, menjemputmu untuk menapaki bumi.
Sial bagiku, kau mengiyakannya.
Kini punggungmu membelakangiku, begitu pula punggung wanita di sebelahmu.
Dan
kusadari atmosferku dibombardir oleh meteor yang berbeda, si wanita itu. Aku mulai menganalisa. Apakah
meteor itu terlalu dahsyat? Atau atmosfernya yang terlalu tipis? Atau asaku
yang terlalu melambung keluar orbit? Jatuh dari tempat yang terlalu tinggi
memang sakit sekali.
Ah, mungkin
seharusnya aku tetap menginjak bumi.
Duduk tenang
menikmati roti bakar mentega, berputar pada poros hidupku sendiri.
Sembari menyeruput teh panas dan semangkuk
gosip pedas. Diantara serpihan-serpihan remeh cerita ringan tentangnya. Seperti
tak pernah habis, terus menerus saling menenggak berita-berita baru. Apapun
yang berkaitan mengenai lelaki murah senyum itu, selalu mampu menyedot
wanita-wanita muda yang chik dan
enerjik ini untuk bergerumul di cubicle
tepat sebelah kiriku. Cubicle Letha, sahabatku. Sampai-sampai aku yang tadinya
enggan-engganan, jadi mulai kecanduan merekam gosip-gosip baru tentang lelaki
itu. Kepalaku rasanya penuh sesak dengan nama itu. Tapi aku tidak seperti
mereka—menurut mereka hanya belum kecanduan saja—yang kecanduan melebihi minum
kopi.
Aku terkadang
hampir jengah, dipaksa menyeduhkan ‘kopi-kopi’ panas untuk mereka. Sehari saja
penuh diam, atau bahkan baru selangkah saja keluar dari ruangan lelaki itu,
pertanyaan-pertanyaan sudah banjir bergerumul di kanan-kiri telinga. Mulanya
aneh, hal yang buatku biasa selalu tampil istimewa bagi mereka. Lama-lama aku
tau, itulah cinta.
Oh, kuralat.
Entahlah itu cinta, kagum, fanatik, atau apalah yang lebih tepat.
Jarang sekali
bisa bertemu suasana hening di ruangan ini. Hanya sesekali, itupun sesaat
kemudian pecah tawa-tawa renyah di atas piring-piring camilan siang. Lagi-lagi
‘kopi-kopi’ manis si pemilik ruangan di
seberang meja kerjaku itu di seruput. Di luar hujan, tapi kopi-kopi
semakin lama diaduk semakin bertambah panas. Entah mereka menyadari atau tidak
kalau tawa-tawa renyahnya bisa terdengar sampai ruangan di belakang mereka. Aku
sesekali ikut tertawa atau tersenyum simpul, lebih sering menertawakan tingkah
wanita-wanita cantik ini. Tapi—kuralat lagi—sepertinya mereka memang tak peduli,
terdengar pun mungkin malah lebih baik.
Denyit pintu
terdengar, senyum-senyum manis dari bibir yang sedari tadi tak berhenti mengunyah
gosip tertarik lebar kearah sosok lelaki itu. Lelaki yang kini mendekati cubicle-ku. “Je, ke kamarku yah. Eh, ruanganku!”
sergahnya buru-buru sambil senyum jail melirik ke arahku. Tak sampai sedetik tawa-tawa renyah
mereka kembali pecah, sekilas ada yang melirikku, ada yang justru mengernyit
seperti cemburu. Sisanya malah berkata, “sudah diundang ke kamar tuh!”. Aku
hanya menuang senyum santai ke dalam cangkir-cangkir kopi mereka. Mereka pasti
sudah berharap-harap menunggu dituangkan kopi-kopi panas lagi.
Sudah lama
rasanya tak terima yang namanya surat cinta. Entah kapan yang terakhir kalinya.
Membuka surat dengan katakata yang spontan berterbangan di dalam lipatannya,
seperti menunggu rintik hujan jatuh pelanpelan, menunggu ketenangan. Ada
gerimis diantara barisbaris kata, dan harum dedaunan basah. Aroma tanah yang
menguap. Seperti parfum yang membuatku terus merindu.
Setelah membaca
surat cinta, hatiku rasanya penuh dengan katakata yang berbondongbondong,
meluapluap, menarinari, ingin segera membalas cinta si pengirim. Meski kadang
tak tau siapa dia. Tapi rinduku akan surat cinta sudah tak terbendung, seperti
hujan di luar yg terjun bebas, tak peduli matahari masih menyeringai yang langsung
buruburu menyipit.
Menerima surat
cinta bagiku rasanya tak perlu menunggu jatuh cinta. Atau menanti hari
valentine. Bisa kapan saja. Mengirimi surat cinta berarti membiarkan kepingankepingan
aksara berjabat erat. Jangan lupa melekatkan rindurindu disudut amplop. Agar cinta
dan senyum di dalam surat tak hilang dicuri pak pos.*
Buddy menyuruhku
mengaktifkan radar Neptunus karena parahnya sinyal di kamarku. Aku bilang radar
Neptunus tidak berefek mungkin karena aku adalah Virgo, bukan Aquarius. Aku iri
dengan Buddy yang Aquarius dan meminta dia menyampaikan ketidakadilan yang
kurasakan kepada Neptunus. Mengapa dia pilih-pilih agen? mengapa dia menolakku
hanya karena aku bukan Aquarius?
Buddy
menyarankanku untuk melamar menjadi agen Pluto. Pluto yang dewa tanah mungkin
lebih cocok dengan unsurku. Disamping itu, letak planet Neptunus dan Pluto
berdekatan, jadi Buddy dan aku bisa main bareng. Begitu katanya. Lalu aku akan
mengumumkan kepada dunia bahwa semua non-Aquarius bisa menjadi agen Pluto. Jadi
aku punya banyak teman untuk membalas sakit hatiku pada Neptunus.
Aktifkan radar
Neptunus : Bip Bip!
Aktifkan radar
Pluto : Guk Guk!
Dan akupun
berubah pikiran, sepertinya tidak ada yang ingin menjadi agen Pluto jika
aktivasi radarnya seperti itu. Aku berlalu, sambil mengumpat kepada Mickey
Mouse. Kenapa dia memberi nama anjingnya Pluto!
Malam ini aku tidak bisa tidur. Bukan karena pahitnya caffe americano yang
kuminum, tapi karena manisnya pria yang menemaniku menikmatinya.
Ku cukup bahagia berada di tengah manusia yang kau undang pada pestamu.
Meski hanya gelombang suara dari diafragmamu yang sampai ke gendang telingaku.
Meski hanya sekedip tatapmu yang tertangkap oleh rasaku. Diantara manusia
lainnya, aku dan kamu terhubung.
Kalau pada akhirnya aku bisa terlelap, aku berjanji akan membawamu ke
mimpiku. Aku ingin bersentuhan lagi dengan suara dan tatapmu.
Mimpi, realita, mimpi, realita.
Jika realita bisa lebih indah pada akhirnya, aku berjanji akan menarikmu
dari mimpi dan mendorongmu masuk ke hidupku. Tapi jika mimpi lebih indah, beri
tahu aku lebih awal, agar aku tak perlu bersusah payah menunggumu.