Wednesday, February 25, 2009

Lakukan!

Kita menilai diri dari yang kita pikir bisa kita lakukan, padahal orang lain menilai kita dari yang sudah kita lakukan. Bila Anda berpikir bisa, segeralah lakukan.

Berani Takut

Hanya orang takut yang bisa berani, karena keberanian adalah melakukan sesuatu yang ditakutinya. Maka, bila merasa takut, Anda punya kesempatan untuk bersikap berani.

Tuesday, February 24, 2009

VYOTCH

...yang berdiri menyamping dengan kemeja yang tak di kancingi tertiup angin dan satu kamera menggantung di bahunya yang tegap sedang memandang ke satu titik dengan dalam dan...—

Semuanya dapat terawali hanya dengan satu kata: cinta.
Aku terbangun di setiap pagi pun—aku yakin—karena cinta.
Suara alunan musik dari petikan gitar seiring siulan burung gereja telah membangunkanku pagi ini. Petikan gitar yang tenang. Kurasakan udara sejuk berpadu sisa embun tadi malam membaur cahaya mentari dari sela-sela jendela—yang hanya ada satu, selebihnya hanya kaca dan dinding rata—di sudut kamar ini. Aku sempat terdiam, mengumpulkan nyawa. Kusibakkan selimut, lalu berjalan mendekati jendela, mencari alunan suara tadi. Kudorong daun jendela ke arah luar, mataku menyipit menghindari sinar sang mentari yang memaksa masuk. Lapangan parkir di bawah masih terlihat lengang, karena pagi baru saja datang.
Satu kamar di hadapanku, di apartemen yang berseberangan denganku, jendelanya masih tertutup rapat. Aku tahu, petikan instrument itu bukan berasal dari sana. Karena yang kutahu kamar itu dihuni oleh seorang lelaki paruh baya yang pemabuk. Kuarahkan kepalaku ke kiri, dengan mata yang masih remang-remang, aku mencari-cari.



Namun yang kudapati hanya rentetan pakaian basah yang sedang dijemur. Apartemen di sana memang lebih banyak di huni oleh ibu-ibu rumah tangga—yang rajin mencuci pakaian saat subuh masih gelap-gulita—bersama keluarganya. Yang kutempati ini memang apartemen tua, dengan design yang kuno—namun semakin kuno semakin antik, menurutku—dengan ukiran-ukiran tua di setiap kayunya.
Kudorong daun jendela sebelah kanan agar lebih merapat ke tembok dan secara perlahan kulihat seorang lelaki tertunduk dengan gitar di pangkuannya serta tangannya yang tak berhenti memetik. Suara itu pun terus mengalun. Mulutnya tertutup rapat, diam, tak bersuara. Kuletakkan kedua lenganku di atas kusen jendela, sedikit menjulur keluar. Kuhirup udara dalam-dalam. Kurasakan hawa yang berbeda menyeruak masuk ke dalam kamar. Seperti kehilangan kesadaran, aku terdiam...

Aku hanya duduk terdiam..
Menunggu untuk tahu namamu..
Lagu-nya Malique & The Essential mengalun sendiri di kepalaku. Kunikmati simfoni gitar akustik yang ia mainkan. Aku tersadar, bahwa sudah terlalu lama aku memandanginya. Ia masih tak berkutik. Tetap duduk di sebuah kursi di teras apartemen-nya dengan secangkir minuman di atas meja bundar mungil di samping kanan-nya yang sama sekali tak ia hiraukan dari tadi. Dengan perlahan tapi pasti, ku jauhkan tubuhku dari mulut jendela. Merapikan tirai dan gorden kuning. Kemudian meraih handuk dan segera berlari ke kamar mandi.

Kuraih tas dan roti isi sisa semalam secepat kilat. Karena aku tak mau terlambat. Aku hampir lupa kalau hari ini aku punya kesibukan. Hupp... semuanya akan kumulai.
***
Kulangkahkan kaki, menyegerakan diri. Uhhk..uhk!. Karena terburu-buru, aku tersedak sedangkan aku lupa menyimpan Aqua 600 mili dalam tas-ku, ya.. beginilah jadinya. Tapi, aku segera menenggak segelas Aqua gelas yang kubeli di dalam bus tadi. Kakiku melangkah lebih cepat. Kutuju sebuah rumah kecil. Itu sebuah gallery. Sebuah papan kecil berdiri tegak didepannya, bertuliskan: Vyotch Gallery. Sebuah gallery sederhana. Aku tahu aku sudah terlambat beberapa puluh menit. Tapi tak masalah, aku masih bisa menikmati semuanya.
Hari ini, di sini, baru saja di buka pameran photography. Suasana romantisme masa lalu sangat hangat terasa ketika baru saja memasuki gallery itu. Tak jauh dari pintu masuk, terpampang foto sepasang orang tua dan anak kecil yang sedang duduk di atas sepeda tua, berlatar daerah pedesaan dengan jalan panjang tak menikung. Di dinding berikutnya kulihat foto seorang abang becak sedang duduk di atas becak-nya sembari mengibaskan topinya. Di bawah foto itu tertulis: “Becakku Becakku, Becakkukayuh Becak”—18 November 2001. Kemudian, berhadapan dengan foto tukang becak tadi terpampang sketsa lukisan wajah seorang gadis desa. Garis-garis sketsa berwarna putih dengan berlatar konte yang hitam menampakkan kesan lain. Berikutnya, ada pemandangan yang sudah tak asing lagi kita lihat, seekor burung gagak hinggap diatas kerbau sambil mematuki tubuh kerbau itu, dengan latar persawahan. Yang tak kalah menariknya lagi, seorang lelaki berdiri menyamping dengan kemeja yang tak di kancingi tertiup angin dan satu kamera menggantung di bahunya yang tegap sedang memandang ke satu titik dengan dalam dan tenang. Foto yang paling menarik dari pameran kali ini.
“Tukang Poto; Photographer”--03 Mei 2006.
***
Disepanjang jalan pulang, aku duduk sebentar di kursi kayu yang ada di atas trotoar, di samping kios kecil. Diseberang jalan, di atas trotoar juga, aku melihat seorang pemuda tertidur bersandar di pintu warung kelontongan miliknya. Tertidur pulas dengan kaki terjulur ke tanah. Dengan kamera tua yang kubawa, ku potret ia. Aku pun meneguk sebotol Teh Botol. Aku masih memperhatikan warung di seberang itu, penjaga warung yang tertidur pulas tadi sudah bangun, dan kini ia tak tahu kalau tidurnya tadi sudah kumemorikan dalam klise-klise yang ada di dalam kamera tua ini. ^-^
Aku berjalan menuju halte terdekat. Menunggu bis yang seharusnya datang 10 menit lagi. Banyak orang berlalu-lalang. Seorang lelaki duduk jauh dariku. Kuperhatikan, ia mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya.
Hah!! Gambar itu? Foto di Vyotch gallery. Diakah modelnya?

Bus yang kutunggu telah tiba. Kulangkahkan kaki menyegerakan diri, karena hari sudah sore. Kulihat kembali lelaki yang duduk itu. Namun ia sudah tak disana. Kemana dia? Kenapa aku tiba-tiba jadi merinding begini?
Aku berjalan mencari bangku yang kosong. Kemudian aku duduk di sebelah lelaki... yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya tadi. ohh... it’s so mysteriouz! Bagaimana bisa secepat itu dia masuk kedalam bus? Aku sempat bingung dan ragu untuk duduk disitu. Bahkan sempat tercengang melihatnya, tapi ia tak berkutik sama sekali, tetap terdiam. Kulihat headset terpasang di telinganya dan walkman di pangkuannya. Aku pun duduk di sampingnya. Terlihat rintik-rintik air hujan membasahi kaca jendela, di luar gerimis mulai turun. Aku mencoba menenangkan diriku. Kuletakkan tas di pangkuanku.
Di pundaknya masih bergantung kamera. Sepanjang jalan ia tak berkutik sedikit pun. Semuanya berjalan kaku dan lambat. Atau mungkin aku saja yang merasa begitu?
Seorang kondektur berteriak, ternyata kami telah sampai di halte berikutnya. Aku tersentak dan terburu-buru bangun. Ia pun turun di belakangku. Karena hujan semakin deras, aku berteduh dulu. Di halte ini hanya ada aku dan lelaki—yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya—berdiri. Karena kursi halte disini sudah rusak dan berkarat.
Hujan bertambah deras lagi. Kami pun basah kuyup. Sebenarnya halte ini tidak jauh dari apartemen-ku, tapi berhubung hujan benar-benar besar hingga menghalangi pandangan mataku, jadi aku lebih memilih untuk menunggu reda. Sialnya, satu mobil yang melintas cepat di hadapanku mencipratkan air kotor yang menggenangi jalan. Damn it! Tas dan bajuku basah, mukaku juga. Untungnya kamera telah kumasukkan kedalam tas. Kalau tidak, kamera tua seperti itu pasti mudah sekali rusak jika terkena air. Dan seorang amateur sepertiku, mana bisa membeli kamera baru. Sambil menyeka wajahku dengan tangan, lelaki yang berdiri tak jauh disampingku itu, menawarkan tissue. Entah ia terciprat juga atau tidak, have no time for caring him. Aku saja sudah sibuk sendiri sedari tadi, menyeka yang kotor disana-sini. Sempat kulihat wajahnya yang tak berekspresi sambil menerima tawarannya itu. “Makasih!”
Lelaki itu duduk di bangku halte yang berkarat, memang masih ada sedikit yang bisa di duduki. Setelah kurasa hujannya mulai mengecil—walau masih belum juga reda—segera kuambil langkah seribu, kudekap tas kecilku, berlari, berlomba dengan rintik-rintik air hujan. Sempat terfikir tentang lelaki itu, entah ia masih duduk disana atau mungkin... nanti tiba-tiba ada dihadapanku lagi ketika sampai di apartemen. Oh no!
Kuketuk pintu apartemen, ternyata pintunya tak dikunci. Aku masuk, kubersihkan bajuku agar tidak meninggalkan air di lantai ketika naik ke lantai atas. Masih di basement, aku mengambil segelas teh panas, kularutkan beberapa sendok gula. Lalu kuseruput teh manis panas itu tanpa menunggu dingin, karena tubuhku sudah terlalu menggigil. Tiba-tiba, terdengar kreekk... dari pegangan pintu yang bergerak dan pintu tertarik keluar. Seseorang masuk, mungkin salah seorang tetanggaku yang juga terjebak hujan diluar. Namun, yang muncul hanya seorang lelaki...(aku tersentak Lagi!!) yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya.
Apa yang ia lakukan di sini? Mungkinkah sedari tadi ia memang mengukutiku? Pantas gelagatnya sedari tadi sering membuatku kaget. Tapi siapa dia? Tiba-tiba tubuhku merinding. Ia langsung menuju ke arah tangga, dan naik. Hah! Mau kemana dia? KAMARKU KAH??
***
Ketika kita memilih untuk mempertanyakan tentang cinta
jawabannya justru akan semakin menjauh
Maka jangan pernah kau kejar
biarkan ia menghampirimu & menjelaskan sendiri padamu
tentang pertanyaan konyol yang semestinya tak pernah kau tanyakan itu
Di kamarku..
Setelah mandi dan mengganti pakaian yang tadi basah kehujanan, serta segera me-lap kamera tua kesayanganku—karena memang hanya itu yang kupunya—, aku membuat susu panas untuk menghangatkan badan. Kudengar kembali alunan gitar yang mengusik tidurku tadi pagi,

Mengalun simfoni indah,
bersamaan dgn saat aku mengetahui keberadaanmu
Meski tanpa tatap & kata, hatiku berirama seiring gerakan tanganmu
Aku berlari dalam petikan gitarmu
hingga tergesa-gesa, dan bertumpu tanpa kesadaran
Sesaat sadar, tak tahu siapa kau
Satu jiwa yang terdiam, hanya bayang...
udara memang dingin, tapi aku masih cukup penasaran. Kubuka jendela, kulihat lagi ke apartment yang menyiku di sebelah kanan. Di teras itu lagi. Dari sanalah alunan simfoni itu kembali hadir. Simfoni itu kurasakan ikut berterbangan, berbaur udara dingin dan embun malam...(Salah! Hujan lebat yang mulai mereda). Tapi kali ini, tak terlihat siapa yang menggetarkan semua senar itu. Malam terlalu gelap, kami di lantai atas, jadi cahaya lampu yang ada di luar apartment tak sampai hingga kesini. Dan di sudut sana, lelaki itu tak menyalakan lampu terasnya—entah sengaja atau memang sudah putus lampunya—. Udara kurasakan terlalu menusuk tulang. Sweater-ku hanya ada satu, itu pun belum kering bersama pakaian-pakaian yang ku cuci kemarin malam. Masih ingat kan kalau tadi sore hujan?
***
Sore ini, ketika aku membuka pintu kamarku dari dalam—karena sedari pagi aku belum keluar rumah—, ada sepucuk surat yang isinya ternyata sebuah undangan. Dipinggir sebelah kanan bagian terdepan undangan itu, tertulis:
~Vyotch Gallery~
Dibawahnya, kolom “To:” kosong, tak tertulis namaku atau nama siapa pun juga.
Undangan pameran dari Vyotch Gallery? Mengapa bisa undangan itu tertuju langsung untukku, ke kamarku langsung pula. Padahal, informasi pameran bulan lalu saja aku dapat dari temanku.
Kubuka lembar undangan itu...

~Photography’ & Paint ExhibitioN~
@ Vyotch Gallery
Jalan Raya Veteran No. 807
Theme: “Side of ME”
Time: 21 maret 2006
Pada perjalanan detik ke: 03.30 wib
Keesokan harinya...
Aku bergegas menuju alamat yang tertera di undangan—yang entah untukku atau bukan—itu. Tak lupa pula, kumasukkan sebotol Aqua 600 mili—yang telah ku isi ulang dengan air minum—dan tak tertinggal pula kamera tua-ku. Siapa tahu ada egel-egel bagus yang kulihat sepanjang perjalanan.
Setelah beberapa menit menaiki bus kota, aku harus berjalan sedikit untuk sampai di Vyotch Gallery. Dan di sepanjang perjalanan kaki-ku itu, di jembatan tepi sungai, aku sempat melihat seorang bapak-renta-bertopi sedang mulai mendayung perahu yang masih menepi agar melaut. Terlihat arus air yang tertinggal di belakang, mengiringi perahu bapak tua itu. Di atas perahu kecilnya, kulihat ada jala ikan, ember hitam ukuran sedang, ember kecil—yang sepertinya berisikan umpan, sebuah kail sederhana yang terbuat dari bambu dan... aku langsung memotretnya. Mengabadikan gambarnya. Bapaktuabertopisedangmendayungperahunya!

Vyotch Gallery, Jalan Raya Veteran No. 807, 03.51 Waktu Di Pergelangan Tanganku. Foto-foto yang dipamerkan kali ini lebih sedikit dibandingkan pameran waktu itu. Seperti biasa, aku cukup menikmati hampir semua foto-foto karyanya. Hingga saat ini, aku masih belum tahu siapa fotografernya. Dan siapa pula yang mengirimkan undangan kedepan pintu kamarku. Hampir di ujung perjalanan kelilingku di dalam gallery kecil itu. Tiba-tiba saja aku tersentak. Kulihat sebuah foto perempuan berkaos lengan pendek dengan berselendang tas kecil di bahunya, berdiri diantara beberapa orang—tapi aku yakin, perempuan itu yang menjadi fokusnya—berpegangan pada besi, berdiri di dalam sebuah bus. Itu aku! Oh, Tuhan...
Siapa yang memotretku?? Otakku berfikir, mencoba mengingat-ingat memori apa saja yang telah berlalu. Tapi, tetap tak dapat kutemukan. Tiba-tiba.. aku merasakan hawa....
“Hai..” tegurnya datar.
Ahh... aku benar-benar sangat terkejut. Badanku merinding dan lemas seketika. Kulihat seorang berdiri di samping kananku. Dia... Lelaki yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya, meski kali ini ia memakai pakaian yang berbeda, tapi aku cukup hafal wajahnya. Masih sama seperti sekitar sebulan yang lalu. Keterkejutanku berlipat ganda. Oh God...
Tapi semua keterkejutan itu kusimpan dalam hati. Berusaha tenang, dan aku tetap diam.
“Ma’af, kalau kamu kaget. Aku yang memotret. Ma’af sekali lagi, karena tanpa seijinmu.”
“Oh..” Aku masih bingung, apa yang akan ku katakan.
“Kamu juga kan yang menunggu bus di halte, naik bus yang sama, berteduh di halte yang sama, memberiku tissue, dan masuk ke apartemen yang sama?” tanyaku panjang lebar sambil terus menatap kosong ke fotoku itu, sambil berpura-pura tetap tenang.
“Iya.”
Aku menengok ke arahnya. Tak kutemukan apa-apa. Diam, terlalu tenang. Tapi, tiba-tiba ia menatap kearahku dengan pandangan tajam. Sampai-sampai aku tak bisa berkutik sama-sekali... beradu pandang dalam diam.
Kucoba pudarkan kekakuan, “Apa kamu tinggal di apartment itu juga?”
“Ya, agak jauh dari pintu masuk di basement. Kamarku menghadap ke barat” jawabnya.
“Barat? Oh...”
***
Aku merasakan sesuatu... yang tak dapat kumengerti. Aku merasakannya... benar-benar merasakannya. Entah! Bahkan sepertinya tak dapat kupertanyakan.
Aku mulai mencari-cari alunan simfoni. Aku seperti merasakan kehilangan sesuatu. Kubuka jendela kamarku seperti biasanya. Menyeruak udara senja kedalam kamarku. Upss... kudapatkan ia, sedang meneguk cangkirnya. Kali ini kulihat gitarnya diletakkan di belakang, disandarkan di dinding dekat pintu. Masih ku perhatikan setiap gerakannya. Ia meletakkan cangkirnya, kemudian beranjak dari kursinya dan masuk kedalam kamarnya. Tak lama, ia kembali berdiri di sisi terasnya, menggenggam sebuah kamera yang sedang di-lap. Kamera itu.. aku baru tersadar... jarang ada kamera seperti ini, ukurannya cukup besar dan warna coklatnya yang... oh God! Ia adalah lelaki yang berdiri menyamping dengan kemeja yang tak di kancingi tertiup angin dan satu kamera menggantung di bahunya yang tegap sedang memandang ke satu titik dengan dalam dan tenang. Kamera itu kamera yang ada di dalam foto ‘Lelaki Tukang Poto’ dalam pameran waktu itu. Ternyata ia juga lelaki yang menjadi model foto waktu itu, ia juga sang tukang poto; photographer itu. Dan ia pun orangnya yang membangunkanku di pagi hari—untuk pertama kali aku mengetahui keberadaannya—waktu itu.
Senyumku kembali terkembang, bersama senyum senja sebelum menghilang
Kutarik nafas satu-satu, kemudian menahannya dalam-dalam,
Lalu merasakannya, bersama senyum yang terus melebar ...
I saw U at 1st time
I’ve got something, odd feeling depth in my heart
Different time, I know that U’re coming near me
and my heart beatin’ something
and sure, I fell down in love
Falling so deep…
Salahkah yang kurasa ini??
***
Alunan musik jazz bergema indah di dalam kamarku.
Tok..tok..tok!
Diantaranya terdengar sayup-sayup suara pintu diketuk. Beberapa saat, terdengar lagi. Ku kecilkan volume tape-ku. Sekali lagi, terdengar tok..tok..tok! aku beranjak mengambil sweater-ku dan membuka engsel pintu, kutarik gagang pintu sedikit.
“Hai..” ujarnya.
“Hai. Apa kabar?” Ujarku sedikit kaku, terkejut karena dia yang ada dihadapanku. Si lelaki tukang poto.
“Alhamdulillah, baik. Ma’af mengganggu.”
“Nggak apa-apa. Umm.. ma’af juga nggak bisa ngajak kamu masuk. Kamarku berantakan.” Kami hanya berdiri bersampingan menyandar ke dinding, di luar pintu kamarku.
“Oh, nggak. Aku bukan mau bertamu ke kamar kamu. Kalau nggak keberatan, kita jalan ke luar, cuaca sore ini keliatannya cerah.” Perkataannya sontak membuatku kaget. Ia mengajakku jalan??Is it like a dating? No! Mungkin cuma jalan-jalan sore ke taman kota. Ya!
“Umm. ” Kami bertahan pada detik-detik kosong.
“Ok. Tapi nggak keberatan kan kalau tunggu sebentar di sini selama aku ganti baju?”
Ia hanya tersenyum kecil, mengangguk dan menatap mataku.
Beberapa menit kemudian aku siap di balik pintu. Kutarik nafas satu-satu. Membuka pintu dan kembali menatapnya. Kami lanjutkan dengan berjalan menuruni tangga apartement tua ini meski dalam kekakuan. Aku benar-benar merasa kaku, bingung harus bagaimana. Aku melihatnya dari ekor mataku. Sepertinya ia begitu nyaman dengan keadaan ‘diam vs diam’ ini.
***
Masih kusimpan undangan itu. Masih kusimpan semuanya. Bahkan tak mudah menghapus semua mimpi dan kenangan itu.
Kuamati foto terbingkai kayu, ada senyum yang semakin lama semakin memudar di sana. Kubuka diary yang telah lama tertutup...

Mengalun simfoni indah,
bersamaan dgn saat aku mengetahui keberadaanmu
Meski tanpa tatap & kata, hatiku berirama seiring gerakan tanganmu
Aku berlari dalam petikan gitarmu
hingga tergesa-gesa, dan bertumpu tanpa kesadaran
Sesaat sadar, tak tahu siapa kau
satu jiwa yang terdiam, hanya bayang...
KEMUDIAN ASA HILANG!!!
Kemudian kutambahkan, dengan berbagai macam rasa yang berdesakan kutahan...
31 juli 2006
Aku dan bebanKu
Aku dan beban
Beban dan aku
Beban terapit di dua tanganku
Beban mengapit dua lenganku
Beban mendekap dua pundakku
Beban menutup dua mata dan telingaku
Beban mengurungku dalam dua tembok
Beban membekap mulutku
Beban terkurung dalam hatiku
Beban, terkurung aku!
Setelah ia meyakinkanku dengan cintanya, ia pergi membiarkan cinta itu berjalan pincang dan menghadapi masalah2 itu sendiri dgn 1/2 jiwa yg telah t’Luka, karena 1/2 jiwa lagi--yang mampu m’Jaga—t’Lah pergi. Ia b’Hasil menyusun cinta itu dgn rapi, namun selanjutnya.. ia pergi m’Ninggalkan susunan itu tanpa m’Jaga dan m’Lindunginya. Membiarkan’y rusak dan hancur.
***
Lelaki yang berdiri menyamping dengan kemeja yang tak di kancingi tertiup angin dan satu kamera menggantung di bahunya yang tegap sedang memandang ke satu titik dengan dalam dan tenang, telah menghilang. Pun lelaki yang mengenakan kaos oblong bermerek salah satu brand rokok dengan kemeja yang tak dikancingi dipadukan dengan Levi’s belel. Tersampir kamera di pundaknya, tak akan pernah ada lagi untuk memenuhi semua baris kisah dalam hidupku.

Mungkin Tuhan hanya punya skenario ini untuk dibagikan kepada kita. Hanya skenario ini yang tersisa. Dan hanya kita.

Friday, February 13, 2009

Tentang Azwaajaa

Azwaajaa menjadi finalis lomba cerpen Islami pada Karnaval Lomba-lomba GAS (Gema Alunan Syukur). Sebuah acara yang diadakan oleh FORMASI FEM IPB pada tanggal 25 oktober 2008.
Thanks to everybody who inspires me!

Paris, 2 Juni

Oleh : Mira Septiyaningsih

—...semuanya berakhir dan berawal di kota ini,
di 2 Juni...—

Indahnya kota Paris hari ini.
Musim semi yang membiaskan warna-warni bunga di setiap sudut kota menemani tiap langkahku. Bunga bermekaran, kupu-kupu menari riang, dan wangi bunga merambat masuk dengan lembutnya di penciumanku. Indah sekali! Aku suka musim ini! Aku berjalan sekitar dua blok sampai akhirnya aku tiba di depan Cafetiere. Di meja bulat dari kayu, di dekat jendela bertirai renda warna putih, seorang pria yang tak asing sedang menungguku.
“Hai, udah lama nunggu ya? Sorry…” Sahutku seraya duduk di sebelahnya.
“Nggak kok, aku baru mau pesan.” Pria itu memesan dua cangkir Cafetiere, kopi khas Perancis.
“Tha,…”
“Ben,” aku memotong. “Maaf, minggu depan aku nggak bisa datang ke acara pameran lukisan kamu, maaf… Aku tahu, kamu pasti ingin menanyakan itu kan? Dan aku tahu, itu adalah acara yang special buat kamu. Tapi aku nggak bisa datang.”
“Tha, tapi kenapa mendadak begini? Apa harus aku reschedule acaraku?”
“Tapi kemarin kan aku udah jelasin ke kamu. Aku harus ke kampus (University Pierre et Marie Curie - University Paris), ada seminar penulisan serta expo buku dan novel dunia di sana. Tepat tanggal 2 Juni. Ini kesempatan aku untuk lebih dekat dengan para penulis di sana. Kamu kan tahu obsesiku. Undangan dan pamflet udah disebar, jangan di-reschedule. Ben, maafin aku.”
Ruben hanya mengangguk perlahan, menyerah…

Maaf, bukannya aku ingin menyakitimu, Ben.
Aku,
Ahh, ini karena surat itu!
Aku bahagia sekaligus galau.
Tapi aku harus ke sana.
Dan buktikan apa yang selama ini aku impikan.
Ataukah tidak akan seperti yang aku harapkan?
Paling tidak, aku harus membuktikannya.
Apapun yang akan terjadi nanti!



Di satu sisi kota Paris yang lain.
“Kamu tahu sendiri mahasiswa ENS-University Paris kayak gimana. Terlalu kompetitif, sampai-sampai cenderung individualis. Hmm, untung ada kamu, kalau nggak, aku bisa sendirian terus.”
“Yang jelas ini menguji kekuatan kita untuk survive dan mandiri.” Seru Yoga lembut.
“Aku suka di sini. Banyak hal indah yang aku dapat.” Shinta menarik napas pelan namun menyiratkan kepastian, “Aku beruntung ketemu kamu di sini, jadi aku nggak merasa sendiri.” Lalu perempuan itu menyandarkan kepalanya di pundak pria yang sedari tadi mencoba untuk mengerti apa yang sebenarnya perempuan ini isyaratkan.
Aku coba mencari-cari, tapi aku tidak mendapatkan apapun. Aku mencarinya di seluruh penjuru kota, di kampus, di sungai Seine lalu di apartemen Gylda ini. Semua ini aku lakukan untuk menemukan jawaban yang sebenarnya ada di dalam hatiku sendiri. Tapi nihil. Aku tidak menemukannya sama sekali.
Shinta, gadis sebangsa dan setanah Jawa denganku, belakangan memang memenuhi hari-hariku. Mengobati rindu untuk menjadi pelampiasan rasa sayang dari seorang perempuan. Shinta berusaha keras, menurutku. Tapi hatiku tetap merasa She’s not my RIGTH woman.
Kemudian Shinta menegakkan badannya kembali lalu menuju pintu, ia membukanya, dan mendapati Joanna sudah berdiri dengan manisnya.
“Come in, Jo.” Shinta menyambut gadis asal Inggris itu.
“Hey, are you dating? Hahaha…!”
Shinta tersenyum.
Yoga termenung.
Mereka menghabiskan malam bersama, menuntut ilmu di negeri orang. Beberapa orang pergi ke Paris karena ingin fokus pada cita-citanya, tapi jelas tidak dapat disalahkan jika ada di antara mereka yang juga mengejar cintanya di sini. Satu di antara mereka adalah Yoga.
Malam ini, Yoga mendapatkan sebuah kejelasan : Shinta mencintainya. Kata-kata Jo terngiang di ingatannya. Jo mengatakannya ketika mereka pulang meninggalkan apartemen Shinta.
“Hey, Yoga. Apa kamu nggak bisa liat perasaan Shinta sama kamu? Sorry if I wanna know, tapi sebenarnya kamu juga suka kan sama dia? Say it to her!”


Lukisan hati.b

Satu lukisan lagi datang ke apartemenku. Ya, dari Ruben. Lukisan wanita yang bersandar di pagar tepian Seire, sendirian. Menatap sungai yang terhampar luas di depannya, kala senja di musim semi. Selembar kertas yang datangnya bersamaan dengan lukisan itu bertuliskan : Pertama kali aku melihatmu. Pertama kali aku jatuh hati.
Aku kembali mendapatkan suntikan semangat untuk memulai hari-hariku. Ruben memang kekasih yang baik, hampir satu tahun sudah aku menjalin hubungan dengannya. Awalnya , atau bahkan sampai saat ini, kadang aku masih ragu dengan perasaanku. Dia bisa memperlakukanku dengan sangat special, tapi aku merasa belum menjadi sepenuhnya diriku jika bersamanya.

Saat wanita menyatakan cintanya.
Harus kuakui bahwa aku tidak mencintainya, aku memang nyaman melakukan banyak hal dengannya, hanya sebatas itu. Tapi aku harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ia terlanjur mengira bahwa aku memberinya harapan. Lalu satu orang lagi yang membebaniku dengan menyuruhku mengungkapkan cinta kepadanya. Ahh…
Malam ini, Shinta sangat menawan. Ia mengajakku ke Opera Garnier, gedung opera terbesar di Paris, menonton pertunjukan balet dan opera klasik. Sepulang dari sana, kami berjalan sebentar mengitari jalan-jalan sekitar Opera Garnier.
Seketika wanita itu berkata bahwa ia sangat bahagia ada di sisiku. Ia juga berkata bahwa ia menyayangiku. Tak bisa kupungkiri aku sangat mengagumi wanita ini. Tapi satu hal lain yang juga tak bisa kupungkiri : Aku rasa aku tidak merasakan hal yang sama dengannya.

That day : 2 Juni
07.00 pm

Aku tak bisa menolak untuk datang ke pameran lukisan Ruben. Ia memaksa dengan suara lirih, justru itu pemaksaan yang paling sulit untuk kutolak. Dalam hatiku berkata, ada sesuatu yang tidak beres. Ada hal penting yang ingin dia sampaikan sehingga menuntunku untuk berangkat ke Montmartre.
Montmartre adalah kota tua, antik, dan cantik yang selalu memiliki sejarah dengan pelukis. Di sini juga terdapat banyak studio dan cafe berbagai pelukis. Tempat yang tepat bagi orang-orang seperti Ruben.
Vyotch Gallery itu sudah sudah ramai didatangi pengunjung. Beberapa diantaranya adalah orang penting di dunia lukis. Ketika aku memasuki galeri nuansa warna putih itu, aku mendapati sebuah lukisan utama yang menjadi bintang dalam pameran ini. Di lukisan itu, seorang pria dan wanita tengah saling memunggungi. Si wanita menunduk sedih, sedangkan si pria menengadahkan kepalanya dan menatap ke depan. Hard to Bring Together Our Heart, judul lukisan itu.
Lalu aku berjalan lagi dan kudapati Ruben tengah berbincang-bincang dengan seorang pelukis senior. Sadar akan kehadiranku, Ruben menghentikan pembicaraan dan menengok ke arahku. Lalu ia meneruskan beberapa kalimat sampai akhirnya mereka berjabat tangan.
Ruben menghampiriku, “Apa kamu ke sini karena mencintai aku, atau karena merasa tidak enak hati?”
“Apa maksudmu, Ben?” Dahiku langsung berkenyit.
“Kenapa kamu rela meninggalkan apa yang selama ini kamu impikan dan datang kemari?”
“Aku pacarmu, Ben!”
Ruben tertunduk sebentar lalu melanjutkan.
“Kamu lihat pelukis senior yang tadi berbicara denganku? Dia mengajak aku bergabung di Art Society Norwegia. Perkembangan seni lukis sedang sangat baik di sana.”
Aku berusaha memutar otakku, try to figure out what is happening.
“Dan aku menerima ajakannya. Aku akan ke Norwegia tak tahu sampai kapan, mungkin setahun, atau lebih.”
“Lalu kau tega meninggalkanku?” Hatiku berkecamuk dan pertanyaan ini cukup mewakili perasaanku. Walau ku tahu, ini bukan pertanyaan yang harus dijawab. Dia memilih pergi, artinya dia memang tega meninggalkanku.
“Zetha, aku tidak mau membuatmu menunggu, aku akan melepasmu.”
“Maksudmu?”
“Lagi pula aku tahu, ada pria lain yang kau harapkan, bukan aku. Pergilah temui dia. Aku baik-baik saja. Sungguh.” Bibir Ruben menyiratkan secuil senyuman pahit.
How do you know? Tanyaku dalam hati.
“How do I know?” Ruben berkata lagi, seakan tahu apa yang sedang berputar-putar di otakku. “Aku menemukan surat itu waktu aku ke apartemenmu dua hari yang lalu, tak sengaja kubaca.”
Dia tidak menahanku, dia malah melepasku. Mengapa dia tidak menyuruhku menunggunya? Mengapa dia justru menyuruh aku menemuinya? Mengapa dia tidak meyakinkanku bahwa aku akan lebih bahagia bersamanya? Too many questions, but I know the answer is one reason : He doesn’t love me as big as I tought.
Satu sisi aku sakit, di sisi lain aku menjadi ringan tanpa beban ketika akan menemui sebuah jawaban. Ku hapus air mataku dan aku berlari, menyongsong cinta yang kuharap akan lebih baik, lebih besar, lebih menjadikan aku seorang Zetha yang apa adanya. Cinta yang kuharapkan sejak lama, akankah terwujud di suatu malam di Paris, 2 Juni ini?
Dari balik kaca mobil ini aku menoleh. Terlihat kampusku yang ramai dengan jajaran expo buku terlihat dari gerbang kampus. Pamflet-pamflet buku terbaru dan best seller serta pamflet seminar penulisan yang menghadirkan penulis-penulis handal berdiri dengan kokoh, mengajak tiap mata yang memandang untuk datang ke acara itu.
Tapi aku meneruskan perjalanan, saat ini bukan acara itu yang aku tuju. Aku memang menyukai sastra, tapi untuk berkunjung ke tempat tersebut sebenarnya hanyalah alasanku kepada Ruben untuk tidak menghadiri pameran lukisnya. Maafkan aku, aku berbohong! Ada tempat lain yang sebenarnya ingin kutuju.
Dari depan kampusku ini sudah terlihat hamparan luas sungai Seine. Di malam hari, sungai itu kelihatan sangat dramatis karena lampu-lampu kota memantul di permukaannya. Ke tepian sungai itulah kakiku menuju.

Seine.
Pria itu menunggu, tepat di tempat yang dijanjikan. Bangku di tepian sungai Seine, awal dari sebuah perwujudan harapan. Akhirnya sesosok wanita muncul dari kejauhan, masih belum jelas terlihat parasnya. Dia berlari menghampiri, Yoga bergegas berdiri menyambut. Semakin dekat dan dekat, dan ternyata…
“Ga, aku mencarimu kemana-mana.” Shinta tergopoh-gopoh mengatur napasnya.
“Untuk apa, Shinta?”
“Menemui cintaku. Aku tak peduli kau menganggapku terlalu percaya diri atau apa, yang jelas aku tahu apa yang aku lakukan. Seseorang berkata bahwa kau akan menemui wanita lain di sini dan menyatakan cintamu. Jangan lakukan itu kepada wanita lain, Ga! Sekarang jawab aku, are you love me too?”
Yoga menghela napas panjang lalu berkata dengan yakin.
“No, Shinta. Sorry.”
Raut wajah Shinta memucat. Yoga bisa melihat itu dengan jelas. Sebelum keadaan memburuk, Yoga melanjutkan kata-katanya.
“Kau wanita yang sangat baik. Aku yakin kau mencintaiku setulus hati. Tapi, aku bukan pria yang tepat untuk kau cintai. Aku yakin di luar sana ada pria yang akan mengejarmu, meyakinkanmu bahwa kau akan bahagia bersamanya. Aku yakin itu akan terjadi. Jangan kejar aku Shinta.”
“Tapi kenapa Ga, aku kira kita sudah sangat cocok, aku nyaman ada di dekatmu, Ga.” Raut wajah Shinta semakin tak karuan, air mata mulai menerobos keluar dari mata indahnya.
“Aku sedang mengejar seorang wanita, hatiku yang meyakinkanku. Aku sedang menunggunya di sini.”
Shinta menangis, Yoga berusaha memberinya pengertian. Yoga berjanji akan selalu menemani Shinta dan tetap sayang kepadanya, sebagai teman. Akhirnya Shinta pulang diantar Joanna yang sejak awal memang menemaninya ke sungai Seine ini.
“Yoga…”
Suara itu datang dari belakang punggung pria itu. Saat Yoga menoleh, seorang wanita tengah tersenyum dengan manisnya.
“Zetha…”
Mata mereka saling bertemu, merefleksikan hati mereka yang sudah tertaut sejak lama. Tidak banyak kata-kata bermunculan, hanya rasa yang membumbung dengan elok, menari-nari di hati mereka.

Akhirnya aku menemukanmu, walau hanya lewat alamat kantormu.
Artikelmu aku baca, ternyata kau kerja di sebuah redaksi majalah di kota ini.
Aku baru tahu setelah 2 tahun di Paris, ternyata kau juga di sini.
Zetha,
Kau memberi rasa yang masih melekat di hatiku.
Dulu belum kusadari karena hatiku masih kaku.
Namun sekarang aku yakin, kaulah yang terbaik untukku.
Temui aku di tepi sungai Seine, 08.00 pm, 2 Juni nanti.
—Yoga—


Zetha kepada Yoga.
Yoga adalah cinta pertamaku, semasa SMA aku selalu bahagia karena dekat dengannya. Sejujurnya aku sudah menunjukkan perasaanku kepadanya, dia juga kuyakini punya perasaan yang sama. Namun entah apa yang membuat dia ragu, dia malah memilih wanita lain. Aku sempat galau dan membencinya. Tapi semakin aku membenci, semakin aku kehilangan dia. Jadi yang bisa kulakukan hanya tetap menyayanginya sampai kapanpun, karena itu membuatku lebih baik.

Yoga kepada Zetha.
Beberapa wanita keluar masuk hatiku. Dulu aku belum tahu mana yang terbaik di antara mereka. Jiwa muda membuatku hanya melihat wanita dari fisiknya saja, karena terus terang banyak wanita yang lebih cantik dari Zetha. Tapi kecantikan itu memudar dan rasa yang kudapat dari Zetha justru semakin menguat. Akhirnya aku yakin, Zetha-lah pelabuhan akhir cintaku.

“Pria, kejarlah cintamu dan rangkul kuat-kuat sampai kapanpun…
Wanita, peliharalah cintamu maka pria akan datang dengan cintanya untuk menemanimu…”

—Pasti ada cinta bagi insan yang meyakininya—
The End.

Cerpen ini gue ikut sertakan pada lomba Bonjour (Be Good in Journalistic) 2008

Azwaajaa

Oleh : Mira Septiyaningsih

Kening menyapu kain beludru di bawahnya
Pikir melayang berusaha menghampiri pintu munajat
Hati merintih sekaligus memaksa untuk tegar
Mata terpejam menatap tiada
Dan bibir berucap harapan dan do’a

Derap langkah seorang pria asing menjadi pemandangan yang memesona di siang hari yang menyengat ini…
Aku yang duduk di bangku paling depan di ruang sederhana ini laksana terhanyut dalam irama kedua kaki yang kian mendekat. Beberapa anak melongok melalui jendela kaca, sebagian melakukan hal yang sama melalui jendela tak berkaca. Sudah kukatakan, ruang kelas ini memang sederhana, atau lebih cenderung pada… kurang layak!
Mataku terpana melihat si pemilik kedua kaki jenjang itu, dan jantungku berdetak hebat tatkala ia memasuki ruang kelasku. Riuh ucapan tanda kekecewaan terlontar dari anak-anak kelas lain, ‘ustadz, mengajarlah di kelas kami saja!’
Ustadz Farid, begitulah ia disapa. Nama lengkapnya adalah Farid Zainul Arifin, usianya 18 tahun. Usia yang amat muda untuk menjadi seorang ustadz, dan justru membingungkan mengapa ada seorang muda yang memilih untuk menjadi ustadz. Kemampuan berbahasa Arab dan Inggrisnya perlu diacungi jempol. Lulusan pesantren Gintung rata-rata memang memiliki kemampuan hebat tersebut.
Ustadz Zainudin memperkenalkan pria itu seraya menegaskan kepada kami bahwa posisi dirinya akan digantikan oleh sosok yang berusia jauh lebih muda darinya. Akhirnya sosok yang sedari tadi tersenyum hormat atas perkenalan Ustadz Zai mengenai dirinya kini mengawali interaksi penuh arti kepada kami saat ia berucap “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh”.
Sambil menyapa kami dan bercerita tentang dirinya, senyum manis itu tidak pernah lepas dari bibirnya. Suaranya yang merdu dan berintonasi jelas membuat ustadz tampan ini mendapatkan perhatian kami sepenuhnya. Tidak ada yang mengobrol, tidak ada yang ingin melewatkan pandangan, perkataan, dan perbuatannya barang satu detik saja.
Tiba saat untuk ia mengabsen kami, siswa-siswi kelas 3 di Madrasah Mu’awanatusy Syuban. Satu persatu ia memanggil nama kami dan giliranku pun tiba. Nabil Addhia Shalihah. Aku mengangkat tangan kananku tinggi-tinggi, antusias. Ini tidak berlebihan, karena aku memang seperti itu setiap kali mengangkat tangan, namun kali ini dengan senyum yang amat mengembang. Sebesit gugup lewat dengan indahnya di hatiku ketika Sang Ustadz juga tersenyum manis kepadaku.


Ini adalah sekolah agama tingkat Ibtida’iyah atau setingkat dengan SD. Karena dua tahun sebelumnya aku terlambat daftar, maka ketika aku duduk di bangku kelas 3 SD, aku baru masuk sekolah agama ini. Tapi banyak siswa dengan kondisi yang sama denganku, bahkan ada yang senjangnya lebih lama. Ini bukan masalah, siapa saja bisa menuntut ilmu disini. Menginjak tahun ketiga aku di sekolah agama sekaligus tahun kelima di sekolah dasar merupakan tantangan menyenangkan untukku. Alhamdulillah aku bisa meraih prestasi di dua sekolahku ini. Aku tidak peduli tanggapan teman-temanku tentang bangunan sekolah agamaku yang bobrok. Disini justru menjadi tempat pembentukan keislaman seseorang agar tidak bobrok.
Beberapa anak kelas 6 mondar-mandir melewati kelasku, tidak sulit bagi siapa pun untuk melihat keseluruhan isi kelas disini. Mereka yang sudah lebih dewasa itu kentara sekali sedang mencari perhatian ustadz baru kami. Sesekali mereka tertawa kecil lalu mondar-mandir lagi. Hmm, apa mencari perhatian seorang ustadz tampan dan pintar bisa membuat orang kelihatan konyol ya? Pikirku.
Aku menikmati materi demi materi yang disampaikannya. Subhanallah, cara ia mengajar sangat baik dan menyenangkan. Aku semakin semangat dalam menyimak. Ketika pelajaran tajwid, ustadz membacakan ayat-ayat Al-qur’an dan berhenti pada kalimat tertentu lalu menanyakan hukum bacaannya kepada kami.
Ia membacakan surat Al-Mujaadilah ayat 11 tentang sopan santun menghadiri majelis. Pada kalimat ‘lakum tafassahuu’, mim mati bertemu huruf ta, hukum bacaannya apa? Ustadz memanggil nama seseorang untuk menjawabnya. Hal ini ia lakukan agar cepat mengenal murid-muridnya. Laila tidak bisa menjawabnya, dilemparkan kepada Subron lalu Tamim pun masih belum ada yang bisa menjawabnya.
Akhirnya ustadz melemparkan kesempatan kepada siapapun untuk menjawabnya. Tanpa ragu, aku mengangkat tangan kananku setinggi-tingginya seperti yang selalu aku lakukan.
“Ya!” Ia menatap ke arahku, mempersilakan. Ternyata hanya aku yang mengangkat tangan.
“Idzhar Safawi!”
“Bagus, Nabil.”
Allah, ia hafal namaku!
Ayat demi ayat, pertanyaan demi pertanyaan, dan pertanyaan lemparan hanya aku yang bersedia mengangkat tangan untuk menjawabnya. Sampai-sampai ustadz tidak lagi memberi kesempatan kepadaku karena berharap ada murid selain aku yang bisa menjawabnya, atau paling tidak mau mengangkat tangan.

Apa aku sudah mendapatkan perhatiannya?
Akulah yang menonjol diantara 50 teman sekelasku
Apa gunanya ini?
Penghargaan diri karena aku pintar?
Atau aku terkagum-kagum oleh sosok pria ini?
Pria 7 tahun di atasku
Dan aku tidak pernah merasakan hal seaneh ini sebelumnya
Aneh, namun
Bahagia

Sharaf…
Pelajaran menghafal kosa kata bahasa Arab. Tentunya kosa kata ‘makan’ akan berbeda untuk saya, kamu laki-laki, kamu perempuan, dia laki-laki, dia perempuan, kami, dan masih banyak lagi isim dhomir lainnya.
Kami harus menghafal secara lisan dihadapan ustadz wali kelas kami, jika lulus satu set kata akan diberi tanda tangan oleh ustadz tersebut. Targetnya adalah 1 buku sharaf 100 halaman, 1 halaman terdiri dari 5 set kata (5 kolom tanda tangan ustadz), 1 set kata maksimal terdiri dari 14 kata.
Sore sepulang sekolah agama, aku dan beberapa temanku mengunjungi rumah Ustadz Farid untuk menghafal sharaf. Sebenarnya tidak harus seperti ini, namun kesempatan untuk menghafal di sekolah sangat sempit. Aku baru tahu, ternyata rumah ustadz dekat dengan rumahku. Maklum saja, ustadz sedari kecil menuntut ilmu di pesantren dan lebih sering tinggal di rumah saudaranya di Tangerang.
Hafalan diselingi dengan obrolan yang mengakrabkan diri satu sama lain. Begitu banyak pengalaman ustadz yang ia bagi, namun ia selalu meminta kami untuk bergantian dalam menceritakan kabar dan keseharian kami.
“Hati-hati di jalan, tetap rajin belajar dan beribadah ya!”
“Insya Allah, Ustadz.”
“Hati-hati…!”
“Lho, tadi kan Ustadz sudah bilang?”
“Oh, umm, iya ya?”
Dan kami tertawa bersama.
Moment seperti ini menjadi moment yang tidak asing lagi bagi aku, ustadz, dan Shafiyah sahabatku. Rasa kagumku semakin tumbuh dan berkembang seperti halnya bunga di musim semi. Keislaman adalah airnya, pengetahuan adalah unsur hara yang mengikat di dasar hati, dan cahaya Ilahi adalah energinya.

Kagum, sayang, atau cinta besar dari jiwa yang masih mungil?
“Ustadz, aku ingin mengundurkan diri dari jabatan Ketua Murid ini. Aku tak tahan menghadapi siswa yang nakal-nakal itu.”
“Tapi teman-teman sudah mempercayakan hal itu kepadamu, Nabil.”
“Aku bukan pemimpin yang baik, ustadz. Lagi pula masih ada laki-laki yang kodratnya sebagai pemimpin lebih tinggi.”
“Anak laki-laki di kelas nakal-nakal kan? Apa mereka bisa memimpin?”
Aku terdiam, menurutku ini kesalahan sistem. Mengapa KM dipilih berdasarkan rangking kelas? Aku juga berpikir masalah attitude, teman-temanku ini mayoritas berasal dari pedesaan kumuh. Sudah mau berjalan cukup jauh untuk menuntut ilmu saja sudah merupakan suatu hal yang melegakan.
“Ustadz percaya kamu bisa, kamu punya potensi.” Lanjut ustadz sambil tersenyum, menyejukkan.
Shafiyah merangkul pundak kananku dan tersenyum. Dukungan kah? Atau ucapan turut berduka cita?
“Oh ya, di peringatan Isra Mi’raj kemarin, kamu berhasil menjadi juara kaligrafi kan? Selamat ya!”
“Ehm, aku juga juara 1 cerdas cermat loh, Ustadz! Bareng Nabil dan Hibat!” Shafiyah angkat bicara sambil senyum-senyum minta dipuji. Kami tertawa geli.
“Iya iya, Ustadz bangga sama kalian. Tingkatkan terus prestasi kalian ya!”
Akhirnya aku melangkahkan kakiku dari rumah kecil nan nyaman ini, rumah yang selalu aku rindukan, rumah ustadz yang kuidolakan.
Ahh… pantaskah hal ini aku rasakan? Bocah 11 tahun seperti aku memimpikan sosok yang melindungiku, menjagaku, dan membimbingku sampai aku dewasa, bahkan sampai tua nanti. Ini pertama kali bagiku, merasakan secercah harapan indah di masa depanku kelak, bersamanya…
***

Bel berbunyi, siswa-siswi kelas 5A SDN 1 Serang segera menghabiskan jajanannya, menghentikan permainan lompat karet, gobag, dan kelereng lalu kembali ke kelas. Suasana masih riuh dan aku masih sibuk menyiapkan buku Bahasa Inggris yang sebentar lagi akan kami pelajari. Lama kelamaan siswa-siswi tenang dan suara asing namun akrab di telingaku terdengar semakin jelas.
“Saya Farid, yang akan mengajar kalian Bahasa Inggris. Pak Khalid cuti karena bertugas ke daerah di Bayah.”
DEG!
Ia mengajar sama menyenangkannya dengan di sekolah agama, namun aku merasa canggung tidak karuan karena ini berarti ia akan mengetahui kemampuan Bahasa Inggrisku yang masih… tidak karuan.
“Nabil, silakan baca paragraf selanjutnya!”
HUUAAA….!!!
“Rajin berlatih ya!” Ujar ustadz setelah mendengarku membaca dengan tidak karuan itu.
Beberapa teman mungkin heran karena Pak Farid langsung mengingat namaku sementara absen baru satu kali dilakukan. Beberapa yang lain iri karena aku bisa langsung diingat oleh guru muda cerdas berperawakan tinggi, berkulit putih, dan berpenampilan rapi itu.

Sepulang sekolah aku bertemu lagi dengannya di depan ruang guru…
“Maaf Ustadz, eh Pak. Tadi aku membacanya kurang baik.”
“Hahaha… santai saja muridku. Lebih banyak berlatih, kamu pasti bisa. Ustadz yakin, eh Bapak yakin.” Ustadzku tertawa renyah. “Panggil aku ustadz saja, kecuali dihadapan teman sekelas dan guru-guru di sini, oke!”
“Iya Ustadz…” ujarku malu-malu. Dalam hatiku berkata, mana pantas pria semuda ini dipanggil Bapak.
“Ayo pulang bareng.”

Ia mengayuh sepeda ini dengan tenang, aku berpegangan erat pada singgasanaku sendiri. Menyusuri perkotaan ini lalu masuk ke daerah rumah kami yang cukup lengang. Saat dudukku tidak nyaman, ia berhenti sejenak dan menanyakan kepadaku apakah aku baik-baik saja. Saat aku hanya terdiam, ia menceritakan hal yang lucu. Saat aku memujinya, ia membanggakanku.

Cinta adalah urusan hati. Manusia tidak punya kuasa di hadapannya. Hati berada di genggaman kedua tangan Tuhan yang dibolak-balik sesuai kehendakNya. Andai cinta bukan mutiara berharga, tidak akan mungkin para Nabi diutus sesuai zamannya…
(Ibnu Majah: 1847)

Kebersamanku dengan ustadz tidak lama, hanya satu tahun. Satu tahun gemilang prestasi, satu tahun kebahagiaan, satu tahun menuju kedewasaan, satu tahun penuh syukur. Ia harus kembali ke Tanggerang untuk melanjutkan studi. S1 jurusan Bahasa Inggris yang ia pilih. Namun begitu komunikasi diantara kami tetap terjalin. Ia menelpon ke rumahku untuk menanyakan kabarku dan keluarga, mengucapkan selamat Milad, menasihatiku untuk rajin belajar dan beribadah, agar menjadi wanita yang sukses dunia akhirat.
Tahun berganti tahun, beberapa kali kami masih bisa bertemu. Namun ketika aku dan keluargaku pindah rumah ke Bogor saat aku duduk di kelas 1 SMA, jika ustadz berkunjung ke Serang, kami belum tentu bisa bertemu lagi. Sampai suatu saat di 1 Syawal aku sekeluarga bersilaturahim ke Serang, pada saat yang sama ustadz pun datang.
“Subhanallah, Nabil sudah berjilbab! Semakin cantik saja. Bagaimana sekolahmu?”
“Baik, ustadz. Aku sedang belajar keras agar lulus dengan nilai terbaik dan bisa melanjutkan ke PTN terbaik pula.”
“Shalat dan mengaji masih jalan terus kan?”
“Insya Allah, itu kan kewajiban kita sebagai muslimin dan muslimah. Betul kan?”
“Siip… ini baru namanya, my beloved student!”
Sumringah Nabil mendengar kalimat tersebut. Ustadz yang sampai kapan pun wanita ini kagumi masih menetap di rumah cintanya. Mungkinkah? Kedewasaan Nabil sebagai wanita berharap: Allah, jadikanlah ia sebagai jodohku. Hanya ia yang bisa membawaku pada kekuatan cinta yang positif. Lelaki yang paling menjagaku, mengertiku, menuntunku menuju kebaikan, dan hanya ia yang membuatku merasa istimewa.
Harapan ini mendorong Nabil untuk bertanya tentang pernikahan (antara siap atau tidak, perempuan ini sudah dapat berpikir ke arah sana). Sebenarnya Nabil ingin ustadznya itu hanya akan menikah dengan dirinya, kelak.
“Rencananya, kapan nikah nih, Ustadz?”
Ustadz menanggapinya dengan ringan dan santai, walau sebenarnya ia ingin menjawab “Ketika kamu dewasa dan siap, Nabil.” Namun urung, Ustadz menganggap pertanyaan itu tidak menunjukkan keinginan Nabil untuk diperistri olehnya karena Nabil hanya menganggapnya sebagai ustadz.
Dan pada kesempatan lainnya Nabil yang sebenarnya penasaran dengan isi hati Sang Ustadz, bertanya “Sudah ada calonkah, Ustadz?”
Ustadz ingin menjawab “Bila kamu ingin selalu bersamaku, mohon jangan bertanya tentang hal ini lagi.” Tapi lagi lagi urung.

Ketika kurasa cinta itu kubawa sampai aku dewasa…
Usiaku hampir 20 tahun, aku memikirkan ustadz yang kini berusia matang, 27 tahun. Saat aku menanyakan kabarnya via SMS, ia mengatakan sesuatu yang sulit bagiku untuk menerimanya. Ustadz akan menikah tepat di hari ulang tahunku yang ke 20, bersama seorang wanita yang bernama Faisha.
Nabil bisa menutupi rasa sedihnya dengan mengetik: Selamat ustadzku, semoga bahagia. Tapi apa ustadz akan melupakan aku setelah menikah nanti?
Lalu ustadz menjawab: I will always remember you, my beloved student. My beloved, forever.

Cinta adalah urusan hati. Manusia tidak punya kuasa di hadapannya. Hati berada di genggaman kedua tangan Tuhan yang dibolak-balik sesuai kehendakNya. Andai cinta bukan mutiara berharga, tidak akan mungkin para Nabi diutus sesuai zamannya. Rasulullah SAW telah menegaskan kenyataan ini: ketika api asmara mulai membara, tak ada yang bisa memadamkan kecuali nikah. Beliau bersabda, “Dua orang yang saling mencintai hendaknya segera menikah”
(Ibnu Majah: 1847)

Mereka saling mencintai. Api asmara pernah membara, namun tidak saling mereka ketahui. Api itu tersirami percikan embun ukhuwah antara ustadz dengan muridnya. Tidak bisa dijelaskan letak kesalahannya karena mungkin tidak ada yang salah. Perihal wanita yang akhirnya ustadz nikahi atau bagaimana nasib cinta keduanya, ini rahasia Ilahi. Manusia hanya bisa berharap, selebihnya Allah yang menentukan
Mereka masih menjaga cintanya, hanya mereka dan Allah yang tahu. Cinta mereka jaga karena Allah semata. Manusia tidak akan pernah kehilangan rasa cinta selama ia terus mencintai Allah. Cinta untuk dimiliki, bukan untuk memiliki. Akhirnya mereka sadar, perasaan cinta ini haruslah cinta antara ustadz dengan muridnya. Karena ustadz harus mencintai istrinya dan suatu saat nanti ada pria yang mencintai Nabil sepenuhnya.

Kening menyapu kain beludru di bawahnya
Pikir melayang berusaha menghampiri pintu munajat
Hati merintih sekaligus memaksa untuk tegar
Mata terpejam menatap tiada
Dan bibir berucap harapan dan do’a
Ia yang bisa membawaku pada kekuatan cinta yang positif
Lelaki yang paling menjagaku,
mengertiku,
menuntunku menuju kebaikan,
dan hanya ia yang membuatku merasa istimewa
Ternyata bukanlah jodohku
Tapi aku tetap bersyukur
Allah mendewasakan diriku dengan caraNya sendiri,
mengajarkanku untuk bisa menjaga hati,
memuliakan cinta,
dan meyakinkanku bahwa Allah pasti memberi yang terbaik
meskipun itu di luar perkiraan kita.
Azwaajaa* itu sudah Allah tetapkan
Dan biarlah cinta Allah yang mempertemukannya


*pasangan-pasangan


Monday, February 02, 2009

Love

Love is like a piece of artwork,even a smallest bit can be so beautiful.

By.Stacie Cunningham



Sunday, February 01, 2009

Relativity

Gravitation cannot be held responsible for people falling in love. How on earth can you explain in terms of chemistry and physics so important a biological phenomenon as first love? Put your hand on a stove for a minute and it seems like an hour. Sit with that special girl for an hour and it seems like a minute. That's relativity.

By. Albert Einstein